Penerbangan jelas di batalkan. Semua barang yang sempat di bawa masih di biarkan berada di dalam mobil. Sedangkan pemiliknya sudah duduk nyaman di atas ranjang kamar.
Jordan menatap Lava yang sama sekali tidak mau melepaskan pelukan mereka barang sedetikpun. Pandangannya beralih ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Kedua orang tuanya meminta Jordan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu. Entah bagaimana kedepannya nanti, mereka masih ingin memiliki Jordan walaupun hanya satu malam.
Dirinya sangat tersentuh dengan ucapan Gerald saat mereka masih di bandara tadi. Rasanya seperti pria itu benar-benar telah menerima Jordan kembali ... untuk menjadi putranya.
Jemari besar Jordan mengusap rambut halus Lava dengan penuh kasih sayang. Pergerakan dari tubuh kecil itu membuat Jordan menunduk, menatap mata bulat Lava yang terlihat sembab.
"Ava kira Papa beneran pergi...."
Jordan menggeleng pelan, memberi kecupan hangat di dahi Lava, "Papa nggak akan kemanapun, sayang, Papa janji."
"Kemarin Papa juga janji, tapi, Papa tetap pergi. Ava takut kalau nggak ada Papa," ucap Lava dengan suara bergetar pelan, "Ava kira Ava nggak akan bisa ketemu Papa lagi ... Ava kira Ava bakal sendirian kayak dulu sebelum ada Papa."
Perasaan bersalah memenuhi hati Jordan. Pemuda itu semakin merengkuh tubuh Lava yang mulai bergetar karena kembali menangis. Nampaknya anak itu sangat takut walau hanya sekedar melepaskan pelukan mereka, karena Jordan mampu merasakan cengkraman erat di baju belakangnya.
"Papa bakal tepatin janji Papa, Nak. Papa nggak akan pergi lagi, Papa bakal selamanya sama Ava, untuk lihat Ava tumbuh besar, jadi anak yang hebat, sehebat nama kamu, Jendral Azkalava-nya Papa." Kecupan bertubi-tubi Jordan layangkan di puncak kepala sang anak, tanpa sadar air matanya juga ikut menetes tanpa bisa di cegah.
Lava mengusak wajahnya di dada Jordan, "Me-mereka bilang Ava bukan anak Papa. Pa, Ava anak Papa, kan? Papanya Ava itu Papa, kan?"
Sungguh, Lava tidak mengerti apa sangkut pautnya semua yang Anyelir katakan malam itu, namun, ucapan berulang-ulang mengenai Jordan bukanlah ayahnya jelas menganggu Lava.
Lava tidak ingin ayah yang lain, hanya Jordan yang Lava inginkan untuk menjadi ayahnya.
Jordan tersenyum getir, "Iya, sayang. Ava anak Papa, Ava selalu jadi anak Papa."
Sedari dulu, saat ini, bahkan sampai Jordan tiada nanti. Jordan hanya ingin orang-orang mengingatnya sebagai ayah dari Lava. Putra satu-satunya, anaknya, Lava-nya.
"Ava cuma mau Papa, Ava nggak mau Kakak, Ava nggak mau Nenek, Ava mau Papa," bisik Lava sambil mendongak, "jangan buang Ava lagi, Pa."
"Papa nggak pernah buang Ava. Nggak akan pernah, Nak." Jordan menempelkan pipinya di pelipis Lava tanpa berhenti memeras air mata, "maafin Papa karena udah bikin Ava ngerasa kayak gitu. Ava itu nyawa Papa, hidup Papa, sampai kapanpun Papa nggak pernah punya pikiran buat buang Ava."
Sepanjang malam mereka habiskan untuk saling memeluk. Menumpahkan rasa takut kehilangan yang sempat terbentuk. Nyatanya Tuhan memang memiliki rencana terbaik dari setiap rencana yang manusia itu buat sendiri.
...
Jordan menuruni anak tangga sambil tertawa geli melihat Lava yang sedari tadi menatap rumahnya penuh kekaguman. Anak itu menggenggam jemari Jordan tanpa mau melepaskan.
"Pagi, Lava."
Tubuh Lava agak tersentak, perlahan Lava bergeser untuk bersembunyi di balik kaki Jordan. Hal itu tentu membuat Lauren terkekeh lucu, wanita itu melangkah mendekat kemudian berjongkok di hadapan Lava.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA [END]
Ficción GeneralJordan Rajaksa, seorang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus pembunuhan berhasil bebas setelah lima tahun mendekam di penjara. Jordan merasa tidak ada gunanya lagi saat keluar dari balik jeruji besi ini. Jordan sudah kehilangan semua hal. M...