Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun, tiga orang yang berstatus sebagai keluarga itu masih duduk diam di ruang tamu mereka. Dalam keheningan menikmati momen yang sudah lama sekali tidak mereka rasakan.
Sempat hampir menjadi asing, namun, siapa sangka Tuhan kembali membuat mereka menjadi seperti dulu? Mungkin agak berbeda karena mereka memiliki anggota keluarga yang baru.
Gerald yang tadi menunduk menatap jemarinya perlahan mengangkat pandangan, menatap Jordan yang nampaknya tenggelam dalam pikirannya. Entah kapan terakhir kali mereka mencoba berbicara dengan kepala dingin seperti ini.
"Jo," panggil Gerald membuat putranya lantas menoleh ke arahnya, begitupula dengan sang istri yang menatapnya penasaran, "kamu benar tidak mau pindah ke luar negeri?"
Penawaran ini tetap Gerald berikan, tidak masalah jika Jordan ingin membawa serta Lava ke sana, namun, sepertinya Jordan masih enggan untuk pergi dari negara ini.
"Itu bakal buang uang Papa terlalu banyak, Jo udah sering hamburin uang Papa dulu, Jo malu kalau harus menyusahkan Papa lagi," jawab Jordan sambil tersenyum hangat, pemuda itu menoleh saat Lauren menggenggam jemarinya.
"Itu nggak akan kebuang sia-sia asal kamu berhasil di luar sana."
Jordan kembali menatap sang ayah, "Jo nggak punya jaminan bakal berhasil di sana, Pa. Gimana kalau setelah lulus, Jo tetap jadi pengangguran? Bukannya lebih baik kalau Jo langsung kerja?"
"Apa yang bisa kamu andalkan dari ijazah SMP saja, Jo? Dunia kerja itu nggak mudah apalagi untuk orang yang bahkan nggak tamat SMA. Selain kamu, Lava juga punya masa depan," jelas Gerald tanpa mengalihkan pandangan dari Jordan barang sedetikpun.
Jordan termenung, pikirannya mulai berpusat pada Lava yang sudah tertidur nyenyak di kamarnya. Bagaimanapun juga, apa yang Gerald katakan ada benarnya. Tidak masalah bagi Jordan jika memang kembali menjadi pelayan di sebuah restoran, tapi, bukankah itu akan sulit untuk kehidupan Lava kedepannya?
Namun, untuk pergi dan menetap di luar negeri tidak pernah terlintas di pikiran Jordan sejak dulu. Jordan ingin tetap berada di tanah kelahirannya, sukses dan membentuk keluarga di sini seperti ayah dan ibunya.
Jordan menatap sang ibu yang sedari tadi hanya menjadi pengamat. Wanita itu tersenyum tak kala menyadari tatapan Jordan seakan meminta pendapatnya.
"Mama bakal dukung semua keputusan Jo," ucap Lauren tersenyum hangat, rasanya Lauren juga tidak rela jika harus melepaskan Jordan jauh ke negeri orang.
Lima tahun dalam pertumbuhan Jordan saja Lauren sudah melewatkannya, bagaimana bisa dirinya berpisah lagi untuk waktu yang bahkan tidak bisa di tentukan?
Pemuda bertato itu menatap sang ayah yang menunggu jawaban, "Pa ... bisa bantu Jo untuk ambil paket C? Jo nggak siap untuk pergi ke luar negeri, tapi, Jo janji bakal kejar pendidikan di sini."
Tatapan mata Gerald agak menyendu, pasalnya bukan ini yang ia harapkan. Gerald ingin Jordan mendapatkan yang terbaik dari segala hal yang ada, namun, Gerald rasanya sudah tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Jordan. Anaknya jelas sudah dewasa, Jordan pasti bisa bertanggung jawab atas semua keputusannya.
"Bisa, tapi, apa kamu benar-benar tidak ingin memikirkannya lagi? Papa tanya sekali lagi, Jo, benar tidak ingin ke luar negeri saja?" tanya Gerald untuk terakhir kalinya.
Jordan menggeleng pasti, "Bantu Jo buat ambil paket C, itu setara kan, Pa? Setidaknya Jo nggak terlalu nguras uang Papa, kedepannya nanti Jo bisa melanjutkan ke universitas."
Gerald mendengus kesal karena merasa di sepelekan perihal uangnya, "Uang Papa banyak, kalau bukan kamu siapa lagi yang mau menghabiskan?"
Jordan tertawa malu, itu yang selalu Gerald ucapkan kepadanya dulu. Jordan tidak pernah memimpikan akan mendengar hal yang sama setelah kejadian lima tahun yang lalu. Namun, siapa sangka ia kembali di hadapkan dengan situasi seperti ini?
"Itu berarti Jo bakal tinggal di sini selama masa sekolah, kan?" tanya Lauren dengan penuh semangat. Ini yang ia nantikan sejak lama.
Jordan berdecak pelan seolah mengingat sesuatu. Jemari besarnya menggenggam jemari Lauren sambil menatap sang ayah dengan senyum malu di wajahnya.
"Agak kurang ajar, sih, tapi boleh nggak Jo minta kerjaan di perusahaan Papa?" tanya Jordan yang mendapatkan lemparan bantal dari sang ayah, "Jo nggak mau manfaatin uang Papa, tapi, Jo mau manfaatin jabatan Papa sekali ini aja, please?"
"Perusahaan saya tidak menerima preman bertato kayak kamu."
Ucapan itu layaknya penghinaan, namun, Jordan malah tertawa kencang. Jika sang ibu menjulukinya sebagai jagoan maka sebaliknya sang ayah menjuluki Jordan sebagai preman bertato. Mendengar hal itu jelas membuat Jordan merasa benar-benar di terima.
Malam yang semakin larut tidak membuat keluarga itu lantas beranjak untuk tidur. Mereka semakin asik bertukar cerita dalam kehangatan yang sempat hilang. Sedetikpun tak ada senyum yang menghilang, malam ini bagai malam terbaik setengah badai besar yang menimpa mereka.
...
Lava berkedip beberapa kali ketika sinar matahari mulai mengusik penglihatannya. Entah sejak kapan Lava mulai terbiasa bangun tidak tepat waktu. Padahal dulu, sebelum matahari terbit pun Lava sudah terbangun dengan sendirinya.
"Pagi, anak Papa."
Anak itu menguap lebar sambil menatap Jordan yang sudah mendudukan diri di pinggiran ranjang sambil merapikan rambut Lava yang berantakan.
Lava tersenyum lebar, "Papa."
"Apa, Nak?"
Bocah lima tahun itu menggeleng pelan, matanya menelisik kamar besar yang sudah ia tempati selama dua malam ini, "Kapan kita pulang?"
"Ava nggak suka di sini?" tanya Jordan sambil mengelus rambut anaknya. Jordan kira Lava akan betah berada di rumah orang tuanya yang terbilang sangat besar ini.
"Suka! Tapi, ini terlalu besar, Ava suka rumah kita. Kita tinggal di rumah aja, ya, Pa? Biar Ava nggak susah cari Papa, rumah Nenek besar sekali, Ava takut Papa hilang," jelas Lava dengan tatapan polosnya.
Mendengar hal itu, Jordan lantas tertawa kencang. Pemuda itu menerjang Lava dengan pelukannya sambil menggelitik pinggang kecil anaknya.
"Papa, geli!" Tawa Lava mengudara di pagi yang cerah ini, membuat Jordan semakin gencar menggelitiki anak itu.
Mereka kemudian saling bertatapan dengan sisa tawa yang masih terdengar. Jordan mengecup lama dahi Lava dengan mata terpejam. Setitik air turun dari sudut matanya, namun, Jordan percaya ini adalah air mata kebahagiaan.
"Kita bakal pulang ke rumah kita sendiri."
Rumahnya bersama Lava, milik mereka berdua yang Jordan janjikan akan penuh tawa dan kebahagiaan seperti hari ini.
.
.extra part
[selesai].
.
wah, finally kita sampai di penghujung season book pertama, ya
ini bakal bener-bener selesai di sini, tapi, aku punya kabar lain buat kalian
BAD PAPA 2 bakal rilis secepatnya!
sudah siap nemenin perjalanan mereka sekali lagi?here, the book is truly finished.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAD PAPA [END]
Ficción GeneralJordan Rajaksa, seorang mantan narapidana yang pernah terjerat kasus pembunuhan berhasil bebas setelah lima tahun mendekam di penjara. Jordan merasa tidak ada gunanya lagi saat keluar dari balik jeruji besi ini. Jordan sudah kehilangan semua hal. M...