"Kenapa tidak memberitahu ku kalau kau akan datang? " tanya pria itu seraya membukakan pintu untuk Fazlan masuk.
"Gue udah ngirim pesan ke lo, damn it! " maki Fazlan dan duduk di salah satu sofa dalam ruangan itu.
Pria tersebut tersenyum tipis mendengarnya, lalu ikut duduk di sofa sebelah. "Maaf, tadi saya sedang makan dan belum sempat memegang HP. " ucap pria itu.
"Hm." Fazlan hanya berdehem, pemuda itu memejamkan matanya sejenak lalu membukanya lagi. "Gue punya tujuan datang kesini. " ucap Fazlan lebih dulu.
"Apa itu? " tanya pria itu penasaran.
"Ntar malam gue kasih tau. " ujar Fazlan terdengar santai, namun membuat pemilik rumah itu mendecih sinis.
"Yasudah sana pulang, apa kau tidak takut mereka akan tantrum? " usirnya.
"Gak peduli. "
Pria itu kemudian terdiam, lalu menyalakan televisi yang nganggur. Tak lama suara dengkuran halus terdengar, nyatanya Fazlan tertidur.
Pria itu mengulas senyum. "Sedikit lagi. " gumamnya lirih. "Aku merindukan mu, adik kecil. " mata pria itu berkaca-kaca, tak sadar setetes air mata jatuh membasahi pipinya yang putih nan mulus itu.
Dengan cepat pria itu menghapus air matanya, lalu menatap Fazlan yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. "18 tahun bukan waktu yang singkat untuk bertemu denganmu, Rafalga. Perlu kamu tau, keluarga Sailendra hampir gila karena mu." pria itu menunduk dengan senyum mirisnya.
Air matanya kembali jatuh. "Wanita itu sudah mati, abang tidak tau siapa yang membunuhnya. Tapi, abang bersyukur karena wanita itu mati. Dendam keluarga Sailendra terbalaskan, walau tidak merasa puas. " pria berbicara dengan suara yang kecil, takut Fazlan mendengarnya dan tau siapa dirinya.
Melihat Fazlan yang tidur dengan sangat pulas, membuat bibir pria itu terangkat. "Kamu tetap bayi, Rafalga."
Dengan cepat, pria itu mengambil gambar Fazlan dan mengirimkannya ke grup keluarga Sailendra. Setelahnya, pria itu mematikan televisi dan ikut tidur di sofa.
Malam harinya, Fazlan dan pemilik rumah itu duduk saling berhadapan. Hanya saja mereka terhalang meja yang di atasnya sudah banyak makanan yang mengunggah selera.
Fazlan memakan makanan yang dimasak oleh pemilik rumah itu dalam diam, pikiran nya berkelana dimana-mana. Menghela nafas sebentar, Fazlan lanjut makan.
Sedangkan si pemilik rumah itu dalam diam memperhatikan adiknya, Rafalga. 'Apa yang dia pikirkan? Jangan bilang para bocah tantrum itu? ' pria itu mendengus kasar saat mengingat wajah para pria dewasa yang bertingkat seperti anak-anak.
Dirinya sangat tidak suka jika melihat Fazlan berhubungan dengan orang lain, selain Sailendra. Tapi, Fazlan adalah orang yang sangat susah di tebak.
Selepas makan malam, keduanya duduk di sofa. Fazlan mengurut pelipis nya yang berdenyut, sedangkan si pemilik rumah hanya acuh.
"Oh iya, tujuan mu kesini tadi apa? " tanya pria itu membuka suara, menunggu Fazlan yang akan berbicara? Jangan harap.
Fazlan menegakkan tubuhnya dan menatap pria di depannya datar. "Bantu gue buat hancurin bisnis Bagas. " ucap Fazlan langsung ke inti.
Pria itu menatap heran pemuda tampan didepannya. "Maksudnya?" tanya pria tersebut yang tidak paham.
"Gue kesini cuma mau minta tolong sama lo, buat bantu gue hancurin bisnis ilegalnya Bagas. Kalau berhasil, lo boleh minta apapun ke gue, asal jangan pisahin gue sama Cavan. " jelas Fazlan dengan peringatan yang jelas untuk pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅 𝐀 𝐙 𝐋 𝐀 𝐍 : 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐎𝐟𝐟𝐢𝐜𝐞 𝐁𝐨𝐲
Novela Juvenil[ERA BROMANCE AND BROTHERSHIP! NOT BL/HOMO!!] Bagaimana jadinya jika pemuda Office Boy ber-transmigrasi kedalam novel dan menempati raga seorang remaja SMA yang berperan sebagai antagonis? ••• 📍Cerita hasil otak yang gabut mikir. 📍No plagiat! 📍...