BAB 4
Rosela menatap plester yang ada di kakinya. Ia meringis melihat luka pada kedua tumit kakinya. Ia kembali memakai sepatu, kali ini ia memakai sepatu senakers yang terdapat busa, agar tak terjadi gesekan pada lukanya. Rosela baru mendapat jam istirahat setelah satu harian ini bekerja. Kebetulan ia libur kampus, jadi Rosela memanfaatkan untuk menambah uang gajinya dengan bekerja ekstra.
"Rosela, lo dicari cowok tuh," ucap Chiko yang kebetulan baru saja tiba untuk pergantian sift.
Rosela mengernyit, perasaan ia tak memiliki janji dengan siapapun. Karena terlampau penasaran Rosela keluar dari resto, disana berdiri Roman yang terlihat tersenyum kearahnya.
"Noah, kenapa kemari?" Tanya Rosela yang sudah berdiri didepan pria itu.
"Gue mampir aja. Nih, makanan." Roman memberikan satu totebag pada Rosela.
"Wih, tumben bener. Pasti ada apa-apa nih?" Tanya Rosela. Roman memang baik, jika sudah bersangkutan dengan alasan makanan dan berniat menghampiri dirinya. Pasti ada permintaan yang Roman inginkan darinya.
Roman menggaruk tengkuknya, pria itu terlihat cengengesan. Niatnya mudah sekali tertebak oleh Rosela.
"Aduh, ketebak. Gue cuma mau minta tolong, besok buat bantuin gue cari kado ulang tau Amary. Lo mau, kan?"
Rosela menepuk dahinya, ia baru ingat jika Amaryllis sebentar lagi ulang tahun. Biasanya gadis itu akan mengundang mereka untuk pesta bbg di rumahnya. Hampir saja Rosela lupa untuk mencarikan kado Amaryllis.
"Hampir aja gue lupa, untung lo ingetin. Oke, gue besok juga sekalian cari kado buat Amary."
"Kalo gitu gue balik dulu, Bye Rosela. Gue jemput besok jam 10 sebelum kelas." Setelah mendapat kesepakatan, Roman pergi meninggalkan Rosela.
Gadis itu kembali masuk kedalam resto melalui pintu samping, ia meletakkan pemberian Roman pada meja karyawan yang biasa mereka pakai untuk istirahat dan makan. Rosela segera membuka, memakan pemberian Roman yang berupa nasi dan ayam lengkap dengan saos pedas manis. Membuka botol minuman dingin miliknya. Hari ini, hanya Rosela habiskan untuk bekerja.
***
Tubuhnya terasa lelah, Rosela berjalan gontai menuju kosan miliknya. Rosela membuka pintu, lalu masuk, ia melempar tubuh keatas ranjang. Ponselnya berdering, ia menatap sekilas benda tersebut. Tertera nama "Ibu" disana. Rosela tak langsung mengangkat panggilan tersebut, ia menyiapkan hatinya terlebih dahulu. Rosela sudah bisa menebak apa yang akan orang tuanya itu katakan. Dengan setengah hati Rosela mengangkat telfon tersebut.
"Halo, Ibu." Rosela menggigit bibirnya. Menyiapkan hal apa lagi yang akan ia dengar dari wanita itu.
"Rosela, apa kamu masih punya uang? Ibu boleh memintanya sedikit, Ibu perlu uang untuk makan besok, uang hasil jualan Ibu diambil habis oleh Bapak, kamu bida kirimkan ibu uang hati ini, kan?" ucap suara dari wanita diseberang sana.
Sudah Rosela hapal dengan arti panggilan tersebut. Lalu terdengar sahutan dari balik suara Ibunya juga.
"Suruh dia mengirim uang lebih, Bu. Arvan juga perlu uang buat beli sepatu baru," sahut suara pemuda yang merupakan adiknya.
"Harsa juga Bu, Harsa harus bayar iuran buat kelas." Terdengar suara adiknya satu lagi. Ikut meminta uang pada Rosela.
"Jadi, Nak. Kamu bisa, kan? Kirim uang buat Ibu."
"Kak Rose harus ingat buat balas budi sama keluarga kami," timpal Arvan dengan keras yang bisa didengar oleh Rosela.
"Hush! kamu gak boleh ngomong gitu." Terdengar suara ibunya yang memperingati Arvan.
Hal itu membuat hati Rosela ingin tertawa, apa wanita itu tak sadar jika tindakannya sama saja. Bertindak naif dengan ujungnya membuat Rosela merasa harus berbalas budi.
Rosela menghela nafasnya lelah, selalu saja seperti ini. Tak ada menanyakan kabar dirinya, ketika mereka telfon niatnya hanya untuk meminta uang.
"Iya. Udah Rosela bilang buat tinggalin pria brengsek itu Ibu! Dia cuma nyusahin kalian! Lagi-lagi dia ambil uang Ibu! Sekarang siapa yang kesusahan, kalian juga. Uang buat makan sehari-hari diambil buat judi pria brengsek itu." Rosela berujar dengan menggebu, entah apa yang wanita itu pikirkan masih saja mau bertahan dengan lelaki modal bangkai saja.
"Rosela, Ibu gak bisa. Kamu tau, Ibu yakin Bapak pasti berubah. Kamu tenang aja." Suara Ibunya terdengar lirih.
"Terserah, Rosela capek. Nanti Rosela kirim." Rosela mematikan panggilan Ibunya. Terdengar tak sopan, tapi Rosela muak. Ia segera membuka aplikasi m-banking, lalu mengirim uang sebesar satu juta untuk Ibunya. Ia menatap tabungannya yang berkurang. Ah, ia ingin bodo amat dengan penderitaan mereka, tapi lagi-lagi kalimat balas budi terngiang di kepalanya. Membuat Rosela secara tak sadar akan merasa bersalah jika tak menuruti permintaan mereka.
Rosela akan menceritakan kenapa ia sangat berani pada orang tuanya dan keluarganya, bahkan ia enggan peduli berlebih. Rosela hanyalah anak pancingan dari pasangan tersebut. Mereka mengadopsi Rosela sejak gadis itu berusia 2 tahun dari sebuah panti asuhan. Selepas 1 tahun merawat Rosela keduanya dikaruniai satu putra bernama Arvan yang kini berusia 18 tahun, lalu tak berselang lama mereka kembali dikaruniai putra kedua bernama Harsa kini berusia 16 tahun.
Suami dari Ibunya atau lebih tepat Bapaknya dulu tak seburuk ini. Semenjak di phk dan pria itu mengenal judi, ia menjadi arogan dan pemarah. Tak segan mencuri uang hasil jualan istrinya. Berakhir Ibu-nya menelfon Rosela seperti tadi untuk meminta uang. Mau tak mau Rosela memberi apa yang Ibunya itu minta.
Tak sekali dua kali Rosela mendapat kekerasan dari pria itu, Ibunya yang bodoh hanya bisa meminta maaf dan meminta Rosela untuk menjauh ketika Bapaknya datang. Ia masih ingat terakhir sebelum dirinya keluar dari rumah menyeramkan tersebut. Rosela mendapat kekerasan fisik di punggung, hingga menimbulkan bekas luka hingga sekarang. Jika mengingat hal itu dada Rosela menjadi panas. Ia keluar dari rumah dan kk saat memasuki bangku perkuliahan. Mencoba abai, namun selalu dihantui oleh pesan adik-adik laknatnya untuk membalas budi akan asuhan orang tua mereka.
Sial. Rosela ingin sekali menertawakan kehidupannya. Ia menyayangi Ibunya, tak bohong lama diasuh ia juga memiliki rasa kasih pada wanita yang merawatnya. Meski ia hanya dijadikan tempat meminta uang dan anak pancingan dahulunya. Rosela tak memiliki tempat mengadu. Ia hanya terus bekerja keras. Jika Ibunya meminta uang, setidaknya ia bisa membalasnya sedikit.
Memang tak jarang Rosela berkata pedas pada wanita itu, saking muaknya dengan prinsip wanita harus nurut dengan pria yang menjadi suaminya. Prinsip kolot dan kuno yang masih di pegang, berharap wanita akan mendapat balasan surga di akhirat kelak. Tapi melupakan jika semasa hidup di dunia bagaiakan neraka hanya karena figur suami brengsek.
Rosela yang malang, ia mengusap air matanya yang menetes. Kenapa harus menangis lagi, sudah biasa seharusnya ia sudah biasa mendapat perlakuan demikian. Ia ingin berteriak untuk apa mereka mengadopsi jika akhirnya dijadikan sebuah pancingan dan sapi perah. Saudara sialan yang ia asuh juga sama brengseknya seperti Bapaknya.
"Sial, nangis lagi. Ayo dong, lo udah biasa diginiin Rosela. Kenapa pake nangis segala, sih." Rosela mengusap air mata yang membasahi pipinya. Bahunya bergetar, menatap langit kamar berlapis plafon putih. Tubuhnya yang sudah lelah kini bertambah lelah secara psikis.
"Kenapa harus hidup segala kalo gue cuma jadi sapi perah kalian! Harusnya kalian gak usah pungut gue dari panti asuhan. Udah tau miskin pake segala pungut anak buat pancingan, kini banyak anak dan sulit gue juga yang harus ikut nanggung!" Suaranya parau, ia mencoba meredam tangisnya. Sialan sekali hidupnya.
"Kenapa?" Lirih Rosela menutup matanya, membiarkan air mata membasahi sprai ranjangnya.
Rosela yang malang hanya bisa memeluk dirinya sendiri dalam kamar kos yang kecil, memeluk lukanya menyembuhkan kondisinya sendiri tanpa ada yang membantu.
***
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Rosela (On Going)
Short Story#MINNIESERIES2 BLURB Rosela, sebuah nama yang indah. Namun tidak seindah kisahnya. Rosela terjebak dengan kejahatannya sendiri. Rasa iri memang hanya akan membakar diri kita sendiri. Begitupula dengan yang Rosela alami. Selalu iri melihat hidup sah...