11

6.3K 794 13
                                    

Mereka kini tengah berkumpul untuk sarapan tanpa Aurelian karena dengan sengaja Andreas membiarkan anaknya itu tertidur lebih lama. Ia sudah mengurus surat izin Aurelian dan itu akan di serahkan oleh Orion nanti pada guru yang bersangkutan.

Mengantar ketiga putranya itu ke pintu depan, Andreas melihat dengan tatapan dalamnya, mengamati bagaimana mereka sudah tumbuh begitu besar. Ia tidak terlalu menyadarinya selama ini karena terkadang sibuk dengan pekerjaannya.

Sudut bibirnya tertarik ke atas dengan rasa haru yang merasuki dada melihat pertumbuhan anak-anaknya yang terasa begitu cepat mengingat si sulung saja sudah memimpin salah satu divisi utama di perusahaannya.

Melihat bagaimana Lysander mendaratkan telapak tangannya pada Calix dan Orion mengusap kepala adiknya itu, tersenyum tipis kala respon yang di dapat si sulung malah berupa tepisan dan lirikan tajam.

Andreas mengangkat tangannya, melambai kepada ketiga putranya, "hati-hati. Jika ada sesuatu hal yang menganggu kalian, maka katakan pada papa." Ujar Andreas membuat ketiganya tertegun sesaat dan langsung memalingkan wajah dengan terburu-buru naik ke kendaraan mereka masing-masing.

"Kami berangkat." Ujar mereka berbarengan kemudian melajukan kendaraan mereka.

Mata Andreas melebar sesaat, ia kira anak-anaknya itu tidak akan membalas perkataannya. Tetapi ternyata ia salah, senyumannya mengembang lebar, "iya."

Paginya di awali dengan begitu baik. Saking baiknya bahkan Andreas menjadi sangat bersemangat untuk bekerja hari ini. Dalam benak berpikir, hal apalagi yang harus di bawanya saat pulang nanti?

"Tuan muda, tolong perhatikan langkah anda! Itu berbahaya!"

Suara dari langkah kaki yang terburu menghampirinya cepat, Aurelian mendekat pada Andreas dengan nafas terengah-engah di belakangnya Leo mengejar mengikuti langkah sang tuan muda, "papa, kenapa tidak membangunkan Lian? Lian akan terlambat." Ujar anak itu nampak panik.

Seragam sudah terpasang di tubuh kecilnya dengan berantakan, bahkan rambut anak itu pun terlihat demikian. Vest dan jas seragamnya terpasang dengan kancing terbuka, dasi ada di tangan anak itu, lalu terakhir tas pun hanya di sampir kan di pundak kecilnya.

Oh, yang membuat Andreas ingin tertawa adalah Aurelian salah memasang kaos kaki. Bukan hanya karena beda panjangnya tetapi malah sampai berbeda warna, kaki kanan terpasang warna hitam dan kaki kiri terpasang warna putih.

Menahan tawanya yang ingin menyembur keras, Andreas berdehem, "Lian mau kemana memang?"

"Lian mau sekolah papa. Sekolah! Papa lupa?!" Anak itu mulai mencak-mencak dengan sebal melihat sang papa yang begitu santai.

"Loh, iya kah? Papa lupa."

"Lalu bagaimana ini? Nanti pasti Lian akan di hukum." Aurelian mencebik, matanya berkaca-kaca ingin menangis. Dirinya tidak pernah telat sebelumnya -contoh anak teladan sekali ya kawan-kawan- karenanya Aurelian merasa sangat panik dan khawatir sekali.

Melihat nafas sang anak yang semakin terengah tak terkendali, apalagi air mata mulai menetes secara perlahan, Andreas jadi buat tidak tega. Ia mendekat pada Aurelian memegang kedua bahu anak itu yang naik turun dengan cepat seiring dengan nafasnya, "hey, tenanglah. Papa hanya bercanda."

Meraih wajah anaknya yang sudah basah, bibir itu terlihat bergetar dalam hati merutuk menyesali perbuatannya dalam menjahili putra ketiganya itu. Sudah tahu Aurelian itu sedari dulu begitu keras dan tegas pada dirinya sendiri masih saja dijahili seperti itu, "Lian, lihat papa nak! Kau tidak akan masuk hari ini. Jadi tidak apa-apa, tidak akan ada yang menghukum mu." Ucapnya sembari mengusap pipi basah Aurelian.

HyacinthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang