06

8.2K 950 31
                                    

Bel istirahat makan siang sudah berbunyi nyaring, Aurelian membereskan buku dan alat tulisnya memasukannya kedalam laci yang tersedia di bawah setiap meja murid, dirinya menunggu Orion sesuai dengan perintah.

Dengan kepala yang menumpu pada tangan di atas meja, tatapannya mengarah pada pintu kelas yang terbuka lebar menunjukan teman-teman sekelasnya yang keluar menuju kantin sekolah untuk mengisi perut. 

Bibirnya sedikit mengerucut lucu akibat dari pipi yang terhimpit mengundang rasa gemas dari Ezekiel yang duduk di sebelahnya. Pemuda sepantaran Aurelian itu terkekeh kecil, "apa yang membuat mu seperti itu Lian?"

"Orion masih belum datang. Aku tengah menunggunya untuk makan siang bersama sekarang." Sahut Aurelian setengah berbisik lirih, anak itu entah mengapa terlihat lebih lesu dari biasanya.

"Begitukah? Mau menunggunya di kantin saja?" Tawar Ezekiel, ia menopang dagu ikut menatap ke arah pintu hingga ia tidak melihat gelengan kecil Aurelian.

"Tidak. Aku sudah berjanji untuk menunggunya di sini, aku tidak mau Orion marah lagi pada ku nanti."

Ezekiel kini beralih pada Aurelian yang masih dalam posisi yang sama. Ia tahu sahabatnya ini memang menggemaskan sedari lama hingga selalu membuat Ezekiel harus menahan dirinya agar tidak mencubit pipi berisi milik Aurelian.

Tangannya mendarat dan mengelus kepala Aurelian lembut, "kalau begitu aku juga akan menemani mu menunggunya."

Senyuman manis terpasang dibibir yang terlihat lembab itu membuat mata bulatnya sedikit menyipit lucu, "terimakasih." Tangan anak itu terangkat menunjukan jempolnya kearah Ezekiel, "Eze yang terbaik." Lanjutnya mengundang tawa dari sang sahabat.

Terlalu gemas dengan teman kecilnya Ezekiel pun mencubit pipi Aurelian dimana anak itu malah cekikikan karenanya, "kenapa menggemaskan sekali sih? Mau aku makan hm?" Ujar Ezekiel sembari mendekatkan wajahnya pada Aurelian.

Hal itu akan mengundang kesalahpahaman karena terlihat seperti mereka tengah berciuman jika di lihat dari sudut lain, dan itu terjadi pada Orion yang berdiri di ambang pintu kelas dengan tatapan tajam serta aura dingin yang menguar kuat.

Genggamannya pada tas bekal mengerat, rahangnya pun itu mengeras dengan langkah sengaja ia hentakan menimbulkan gema di ruang kelas yang sepi. Aurelian langsung mengangkat kepalanya karena merasa penasaran, matanya berbinar saat melihat Orion yang mendekat, secara spontan Aurelian pun berdiri dari kursinya.

Kaki yang tadinya ingin mendekat mengurungkan niatnya kala aura tak mengenakan dirasakannya berasal dari sang adik. Orion menatap dari atas pada Ezekiel, begitu tajam dan mengintimidasi, "jangan mendekati kakak ku lagi!" 

Setelah mengatakan itu tanpa menunggu persetujuan Aurelian, ia menarik tangan sang kakak keluar dari kelas. Perbedaan tubuh yang jauh berbeda, kaki Aurelian yang pendek tidak bisa menyamai langkah Orion yang lebar, membuatnya terseret hingga harus berlari kecil menyesuaikan.

"Orion, tunggu. Tolong berjalan dengan perlahan, aku tidak bisa mengikuti langkah mu."

Orion terus melangkah tanpa mempedulikan Aurelian yang kesulitan, emosinya masih berada di ujung tanduk dan itu membuat ia tidak memperhatikan sekitar. 

"Orion, aku mohon. Perlahan." Nafasnya yang mulai tersenggal, Aurelian kesusahan untuk menormalkan kembali pernafasannya, tangannya yang lain memegang erat area dadanya, "Aku tidak sanggup. Berhenti, aku mohon."

Hingga rasa pusing mulai menyerang kepalanya akibat dari pasokan oksigen yang tidak stabil, saat dirinya akan ambruk, Ezekiel yang memang mengikuti keduanya saat Orion menyeret keluar Aurelian pun langsung menahan tangan Orion hingga membuat langkah terburu itu berhenti seketika dan berbalik masih dengan raut emosi tercetak diwajahnya.

HyacinthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang