22. Piket...
Happy reading
Haikal yang baru pulang dari warung terkejut mendengar suara ribut dari belakang kelas. Bersama ustadz apip, dia saling lirik sebelum memutuskan melihatnya.
Dengan mengendap endap, langkah mereka tak terdengar oleh orang orang di balik sana. Saat sampai mereka pun dengan iseng mengagetkan orang orang itu.
“Dar!”
“Astaghfirullah!”
Orang orang itu kompak menoleh kaget sampai menghembuskan nafas nya yang memburu. Mereka mengelus dada, lalu saling menatap.
“Ustadz. Ustadz sedang apa disini? Ustadz mau jambu juga?” Tawar anak laki laki itu dengan cengengesan menyodorkan jambu di tangannya.
Haikal mengangguk, berjalan mendekati pohon. Dia mendongak ke atas dimana salah satu bocah yang tengah memanjat mengambil jambu itu.
“Kalian sudah minta izin kan?” Tanya ustadz apip pada dua bocah itu.
Mereka mengangguk dengan polosnya. “Udah kok ustadz. Kita udah minta sama bu nyai, dia bolehin”
“Hm, bagus” Ustadz apip menepuk pelan pundak dua bocah di depannya. Lalu tatapan mereka beralih pada haikal yang masih mengamati bocah di pohon.
“Hati hati ham, nanti jatuh” Ujar haikal pada ilham, anak yang tengah memanjat pohon dengan seragam mengajinya.
Setelahnya pria itu berjongkok dan mengambil satu buah jambu hasil petikan ilham yang dijatuhkan. “Saya boleh minta?” Haikal menoleh pada dua bocah tadi.
Hakim dan gilang, dua anak itu mengangguk. “Boleh tadz, ambil aja” Kata mereka.
Tiga anak kelas dua sd itu memberikan satu lagi pada ustadz apip yang langsung di terima. Ustadz apip pun tersenyum senang.
“Terima kasih. Kalian ini kenapa masih pake baju ngaji gini?”
“Baru pulang ngaji ustadz. Kita lihat jambu matang matang tadi waktu mengaji, jadi kita minta” Jelas gilang seraya menggigit jambu itu.
Pohon jambu itu tepat berada di belakang kelas satu dan dua, jadi jelas terlihat dari jendela saat mengaji.
Haikal mendekati mereka, lalu berjongkok dan mulai memakan buah jambu yang di ambilnya. Diikuti ustadz apip dan dua anak tadi, seraya memakan hasil panjatan ilham mereka memperhatikan bocah itu yang masih asik di atas pohon.
“Ustadz, nanti malam bakal bikin liwet lagi gak?” Hakim menatap ustadz apip di sampingnya.
“Kenapa?” Tanya ustadz apip.
“Kita pengen ikutan ustadz. Seru banget ustadz, nasi liwet buatan ustadz enak. Gak kayak bang asir, gosong mulu”
Ffftt. Haikal dan ustadz apip tak bisa menahan tawanya, keduanya terkikik mendengar ucapan si bocah hakim.
Basir, santri tsanawiyah kelas 9 itu memang agak agak kalau membuat liwet. Selalu gosong, entah karena apinya kegedean, di tinggal pergi atau bahkan yang lainnya.
“Tanyain sama ustadz haikal, dia bakal bikin liwet gak nanti malam” Ustadz apip menunjuk haikal di sampingnya.
Lalu gilang yang paling ujung menolehkan kepalanya ke depan, menatap ustadz haikal. “Nanti malam ustadz haikal mau bikin liwet gak tadz?” Tanya bocah itu.
Haikal menoleh lalu menunjukkan jempolnya. “Nanti malam, pulang pengajian dari kyai kita bikin liwet di tungku dua. Kalau mau ikut, jangan tidur dulu” Ucap haikal.

KAMU SEDANG MEMBACA
nyantri bareng suami
Novela JuvenilBagaimana jadinya jika kita menikah dan masuk ke pesantren bersama sang suami? Itulah yang di rasakan Anastasya Sabila. Gadis yang sering di panggil asya itu menerima perjodohan sebagai bukti baktinya pada orang tua. Haikal Zayyan Atharrazka. Pria b...