Melewati sepuluh tahun penuh penyesalan tanpa bertemu dengan Kara adalah sesuatu yang pantas di terima oleh pengecut dan bajingan sepertiku.
Selama sepuluh tahun itu pula, aku sering berangan tentang pertemuan indah yang akan aku lakukan saat berte...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
****
Deka berdiri diam di tempatnya, seperti patung hidup. Tatapan dinginnya tetap tak tersentuh, seolah tak tergerak sedikit pun oleh segala tuduhan dan emosi yang baru saja dilemparkan Kara untuknya. Namun, aura di sekelilingnya mulai berubah—tidak lagi sekadar dingin, tetapi menyerupai api yang siap membakar keduanya hingga habis dan tidak bersisa.
Perlahan, ia melangkah maju. Wajahnya tetap memancarkan ekspresi yang kaku, tetapi kali ini dihiasi dengan senyum miring yang menggetarkan hati Kara. Tatapan itu membuatnya mengingat luka lama yang pernah coba ia lupakan.
Deka mengangkat tangan, membelai pipi Kara dengan lembut—terlalu lembut untuk seseorang yang tengah terbakar emosi. Namun tangan satunya mencengkeram pinggang Kara dengan kekuatan yang cukup membuatnya kesulitan bergerak.
“Jangan bicara soal cinta kalau kamu sendiri cuma hidup dengan penuh kepura-puraan selama ini. Apa kamu pikir aku enggak tahu yang sebenarnya? Lima tahun ini, kamu cuma hidup penuh kebohongan, cinta atau apapun itu, bullshit, Ra!” tekan Deka.
Kata-kata itu menghantam Kara seperti badai. Ia menatap Deka dengan gemetar, perasaan takut perlahan merayap di dadanya. Tatapan itu—tatapan dingin dan penuh kebencian itu pernah Kara lihat di masa lalu. Tatapan dingin dan tidak tersentuh itu pernah Deka tujukan di masa lalu dan setelahnya ia malah menderita.
“Kamu berubah, Ka,” ucap Kara, mencoba meredam getaran suaranya meski ia ketakutan
“Iya,” timpal Deka, “Semua karena kamu!” Deka mendengus sinis.
Kara menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Do you love me, Deka?” tanyanya untuk kedua kalinya, kali ini dengan suara yang lebih lembut, nyaris berbisik namun terdengar dengan jelas.
Namun, alih-alih menjawab, Deka tertawa sarkastis. Tawa itu bergema di ruangan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. “No, Kara. Seharusnya aku yang tanya itu ke kamu. Do you love me, Kawana Rahenazula?” tatapannya kini berkaca-kaca, meski bibirnya tetap menyunggingkan seringai.
Keterdiaman Kara membuat Deka menggunakan kesempatan itu untuk melanjutkan ucapannya, “Stop talking about love if you don’t even understand it. Kamu bicara cinta, tapi kamu sendiri hidup dengan banyak kebohongan!”
Kara menggelengkan kepala. “Bukan aku, Ka. Tapi kamu yang seharusnya berhenti bicara.” Ucap Kara setelah menyingkirkan tangan Deka yang sedari tadi mencengkeram kedua pipinya.
“Bukan aku yang seharusnya berhenti membahas soal cinta tapi kamu!” kata Kara sambil menunjuk Deka dengan jari telunjuknya.
Nada suara Kara naik, penuh emosi. “Kamu yang selingkuh, Ka! Kamu mengkhianati aku, keluarga kita! Kamu menghancurkan semuanya!” Teriaknya, melepaskan semua emosi yang selama ini coba ia pendam.
Deka menyugar rambutnya dengan kasar. “Jadi semuanya salah aku? Kamu lupa, Ra? Semua ini berawal dari kamu! Dari kebohongan yang kamu ciptakan lima tahun lalu!”