Happy reading!
Petra POV
Satu minggu di Jerman terasa seperti latihan intensif dalam memahami Dimas—pria yang kini menjadi suamiku. Setiap hari kami jalani dengan mencoba terbiasa satu sama lain, menyesuaikan ritme, termasuk ketika ia memperlihatkan sisi liarnya yang kerap membuat tubuhku panas dan pikiranku berantakan. Namun, di antara semua itu, ada yang membuatku bersyukur. Dimas mulai beradaptasi. Ia tak lagi sekadar membakar gairahku, tapi juga membuatku tertawa dengan tingkahnya yang terkadang kekanak-kanakan.
Dan aku? Aku pun belajar menyesuaikan diri dengan pernikahan ini.
Pernikahan ini bukan hanya tentang aku dan Dimas. Ada keluarga yang menjadi bagian dari kami—Paula dan Daisy, yang selama di sini kucoba dekati. Waktu yang kuhabiskan bersama mereka terasa menyenangkan, membuatku merasa lebih diterima. Dimas pun tak ketinggalan. Ia tampak lebih sering menghubungi Ayahku, Andrew. Sesuatu yang sebelumnya jarang ia lakukan, tapi kini terasa seperti hal yang alami.
Setelah hampir seminggu menikmati 'honeymoon', akhirnya kami harus kembali ke Indonesia.
Ada perasaan enggan saat harus meninggalkan rumah Paula dan Daisy—tempat yang dalam waktu singkat menciptakan begitu banyak kenangan yang tak ingin kulupakan. Jika bukan karena kuliah yang sudah kutinggalkan sejak pernikahan dan pekerjaan Dimas yang menumpuk, mungkin aku akan meminta untuk tinggal lebih lama.
Namun, sebelum ke bandara, Dimas mengajak Daisy untuk berjalan-jalan ke Berlin.
Sepanjang perjalanan, aku menikmati pemandangan kota yang tak pernah kehilangan pesonanya. Bangunan-bangunan tua dengan arsitektur klasik berdiri kokoh di kedua sisi jalan, dindingnya dihiasi lampu-lampu temaram yang menambah kesan romantis.
Hingga akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar bersejarah. Aku dan Daisy turun lebih dulu, berdiri di trotoar sementara Dimas masih sibuk memarkirkan mobil. Angin malam mengusap kulitku, membuatku sedikit menggigil. Daisy menarik tanganku, membawaku lebih dekat ke bangunan itu, di antara para pengunjung yang masih ramai meski malam semakin larut.
Suara langkah kaki berat terdengar dari belakang.
"Petra."
Aku menoleh, mendapati Dimas yang kini berdiri di belakangku, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sorot matanya sedikit menggodaku.
"Iya?"
"Bisa fotokan aku sebentar?"
Aku mengernyit, sedikit heran dengan permintaannya. Tapi akhirnya kuturuti juga. Mengambil ponsel, aku mengarahkan kamera ke arahnya. Dimas berpose santai, satu tangan masih terselip di saku celana, bahunya sedikit terangkat, rahangnya tegas di bawah lampu kota yang berpendar lembut.
Aku menatap hasilnya dan tanpa sadar berkomentar, "You look good, not gonna lie."
Dimas menyeringai, lalu tanpa aba-aba, tangannya menarik tengkukku dan bibirnya mendarat sekilas di bibirku—cepat, tapi cukup untuk membuat tubuhku menegang.
"Kau baru menyadarinya?" bisiknya tepat di dekat telingaku, suaranya rendah, nyaris terdengar seperti godaan yang disengaja.
Aku menelan ludah, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang menjalar dalam tubuhku.
"Mana ponselmu? Aku akan mengirimnya untukmu."
"Tidak perlu."
Aku berdecak. "Lalu, untuk apa kau memintaku mengambil fotomu?"
Dimas mengangkat bahu, menyandarkan tubuhnya ke tiang lampu terdekat, terlihat santai dan percaya diri. "Supaya kau bisa jadikan wallpaper. Itu foto yang bagus, Petra. Teman-temanmu bahkan akan mengira aku adalah pria tampan yang mereka temukan di internet setelah mengetik keyword 'hot guy'."

KAMU SEDANG MEMBACA
His touch, Her desire
RomanceJarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...