chapter 3

16.1K 773 15
                                    

Happy reading!

Aku membanting pintu apartemen dengan kasar, suara dentumannya memecah keheningan di ruang tamu yang gelap. Ponsel masih menempel di telingaku, dan suara Erica terus mengalir dari seberang sana, mencoba menarik perhatianku. Tapi aku tak mendengarkan, tak ingin mendengarkan. Tubuhku terasa dipenuhi bara, darahku mendidih setiap kali dia membuka mulutnya.

"Erica, dengarkan aku!" sergahku, suaraku nyaris berteriak. Nafasku berat, dada naik turun seperti habis berlari maraton. "Hanya karena kita pernah berciuman, bukan berarti aku punya rasa lebih padamu."

Hening sesaat di seberang sana. Suara napas Erica terdengar lembut, tetapi ada nada gugup di sana, seolah dia berusaha meredam ketegangan. "Tapi, Dimas... itu bukan hanya soal rasa. Aku tahu kau juga merasakannya," katanya lirih, penuh harap.

Aku menutup mata, berusaha mengendalikan diri, tetapi hanya sia-sia. Aku melangkah cepat menuju dapur, membuka kulkas dengan kasar, mencari sesuatu yang dingin untuk menyiram panas di dadaku. "Tapi apa, Erica?" Aku memotongnya dengan tajam, membiarkan pintu kulkas tertutup dengan keras. "Kau lihat cincinnya, kan? Berlian besar di jari manismu itu? Kau itu tunangan Jacob. Jacob, Erica! Temanku sendiri!"

Nada suaraku makin meninggi. Aku berjalan kembali ke ruang tamu, melempar jas ke sofa tanpa peduli di mana benda itu mendarat. Aku memijat pelipis dengan kasar, berusaha menenangkan diriku, tapi bayangan Jacob—teman yang selalu mempercayaiku—terus menghantui pikiranku.

"Dimas, aku tahu, aku salah. Tapi aku tidak bisa mengendalikannya," Erica berbisik, seolah mencoba membela dirinya. "Dan kau... kau membalas ciumanku kemarin. Jangan katakan kalau kau tidak merasakan apa-apa."

Aku mendengus, setengah tertawa, setengah mencemooh. "Ya, aku membalas ciumanmu. Tapi kau tahu apa? Aku menyesal. Seharusnya aku mendorongmu menjauh saat itu juga." Nadaku lebih rendah sekarang, tapi dingin, seperti pisau yang baru diasah. "Kemarin, Jacob baru saja keluar dari ruangan, dan kau malah datang padaku, Erica. Apa kau tidak punya rasa malu?"

Aku berjalan ke jendela besar yang menghadap ke kota, menatap kemacetan di bawah sana yang terasa menyiksa mataku. "Kau harus berhenti, Erica. Jaga jarak dariku. Kau boleh datang ke kantor, tapi hanya untuk Jacob. Jangan pernah mendekatiku lagi."

"Tapi aku menyukaimu, Dimas..." Erica memotongku, suaranya lembut tapi penuh permohonan. "Bisakah kau mengerti? Sedikit saja..."

Aku memejamkan mata, menekan jemariku ke pangkal hidung, mencoba mengusir letupan emosi yang semakin membara. "Menyukaiku?" Aku tertawa, kali ini lebih keras, lebih sinis. "Atau kau hanya menyukai uang dan tubuhku? Katakan saja, Erica. Jangan berpura-pura." Suaraku tajam, setiap kata kupilih dengan kejam. "Aku tidak sebodoh itu. Dan kau tahu apa? Aku tidak peduli dengan rasa 'suka' yang kau bicarakan itu. Aku tidak tertarik."

Erica terdiam, tapi aku masih bisa mendengar napasnya yang berat, seperti seseorang yang mencoba menahan tangis. Aku menunggu, membiarkannya berpikir bahwa aku peduli, sebelum akhirnya menutup percakapan ini.

"Dimas..." bisiknya akhirnya, suaranya retak, penuh luka.

Aku langsung memutuskan panggilan dengan kasar, tidak ingin mendengarnya lagi. Semoga itu adalah panggilan terakhirnya. Aku sudah lelah, sangat lelah. Seharian bekerja, dan kini dia datang mengganggu, membawa masalah yang seharusnya tak pernah ada.

Aku ingin beristirahat, hanya itu yang kurencanakan setelah sampai di apartemen. Tapi ternyata, kabar dari wanita itu malah merusak segalanya.

Ponselku bergetar, diiringi suara musik yang menghentak keras di sana. Aku baru saja melemparkan tubuhku ke kasur, menginginkan sedikit ketenangan, tapi ponsel yang terus berdering membuatku terpaksa meraihnya. Dengan kesal, aku melihat layar dan sudah bisa menebak siapa yang menelepon—Erica. Tapi kali ini, aku tidak berniat menerimanya.

His touch, Her desireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang