chapter 12

8.8K 439 7
                                    

Happy reading!

Selama makan malam berlangsung, hanya dentingan garpu dan pisau yang mengisi ruangan. Tak ada suara lain selain desahan napas yang berbaur dengan aroma hidangan yang mulai mendingin. Aku dan Dimas tenggelam dalam makanan masing-masing, namun ada sesuatu di udara—sesuatu yang tak kasatmata, tapi begitu terasa.

Begitu suapan terakhir habis, aku meraih selembar tisu, menyapukannya perlahan di bibir, memastikan tak ada noda yang tertinggal. Sementara itu, Dimas sudah lebih dulu menyelesaikan makanannya. Ia bersandar santai di kursinya, jemarinya mengelus perlahan pinggiran gelas whiskey yang hampir kosong. Tatapannya menerawang, seperti memikirkan sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun selain dirinya sendiri.

"Sedang memikirkan apa?" tanyaku, memecah keheningan.

Dimas tak menjawab. Ia hanya menggeser piringnya ke hadapanku, ekspresinya tetap tak terbaca.

Aku mengernyit. "Aku tidak mengerti."

"Dagingnya sedikit gosong," ucapnya santai, tetapi ada nada halus dalam suaranya—sesuatu yang mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini tidak akan berakhir sesederhana itu.

"Lalu?"

Dimas menoleh, sudut bibirnya sedikit terangkat. "Lalu kau akan mendapatkan hukuman. Kau lupa permainannya?"

Aku tersentak. Tubuhku menegang dalam sekejap. Aku ingat betul apa yang ia katakan sebelum makan malam dimulai, tetapi aku tak menyangka ia benar-benar akan menagihnya.

"Itu ulahmu sendiri, Dimas! Kenapa aku yang harus menanggungnya?" seruku, mencoba membela diri.

"Tapi itu juga terjadi karena aku harus mengurus luka di jarimu, Petra," jawabnya tanpa terburu-buru, suara rendahnya menggema dalam pikiranku. "Aku terpaksa meninggalkannya karenamu."

Aku menatapnya, napasku sedikit tertahan. "Aku tidak pernah memintamu untuk membantuku," ucapku cepat, mencoba mengalihkan kesalahannya padaku.

"Jadi kau ingin aku membiarkanmu terluka seperti itu?" Dimas beringsut sedikit ke depan, sikunya bertumpu pada meja, tatapannya mengunci milikku. "Tidak akan."

Aku membuka mulut untuk membalas, tetapi Dimas mendadak memasang ekspresi yang berbeda. Matanya berbinar penuh godaan, seolah menunggu sesuatu dariku. Aku menghela napas, akhirnya menyerah pada permainan ini.

"Kau ingin aku melakukan apa?" tanyaku akhirnya, suaraku lebih lirih dari yang kuharapkan.

Dimas tak langsung menjawab. Ia hanya menyentuh pipi kirinya beberapa kali, memberikan isyarat yang begitu jelas.

Aku memicingkan mata. Ciuman?

Aku menyeringai tipis. Aku tidak takut.

Aku merapatkan kursiku, mendekati Dimas yang kini bersandar santai di kursinya dengan ekspresi penuh kemenangan. Perlahan, aku mengangkat wajah, mendekatkan bibirku ke pipinya, bersiap memberinya ciuman ringan yang ia minta.

Namun, tepat saat bibirku hampir menyentuh kulitnya, Dimas bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ia memiringkan wajahnya, mengubah targetnya.

Dan bibirku mendarat tepat di bibirnya.

Aku terhenti. Jantungku berdentum keras di dalam dada, sementara Dimas menatapku dari jarak yang begitu dekat, seolah ingin memastikan bahwa aku tidak bisa lari. Aku sempat berniat mundur, tetapi itu hanya ilusi sesaat—karena sebelum aku sempat bergerak, jemari Dimas sudah mencengkeram tengkukku dengan lembut namun menuntut, menarikku lebih dekat.

Tanpa aba-aba, ia mulai melumat bibirku, menyapu lembut tetapi berbahaya, seperti racun yang menyusup perlahan ke dalam tubuhku. Aku mengerang pelan, terjebak dalam jebakan yang ia buat tanpa peringatan.

His touch, Her desireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang