Jarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Petra POV
Setelah mengehujani wajahku dengan ciuman, Dimas membiarkanku bersandar di atas dada bidangnya.
"Kau ingin kita pergi ke mana hari ini?" tanyanya dengan lembut, suaranya serak karena masih mengantuk.
"Kalau seperti ini saja, boleh?" jawabku sambil tersenyum kecil, berusaha menutupi kelelahan yang tersisa dari hari kemarin. Berbaring di atas kasur, ditambah kehadiran Dimas yang menemaniku, merupakan pilihan yang indah untuk memulihkan tenaga.
"Kenapa tidak?" jawab Dimas singkat.
Aku kemudian mencari posisi yang nyaman dalam dekapannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu akrab dan menenangkan.
"Petra," panggilnya pelan, seolah menyapaku dengan penuh kasih sayang.
Aku berdeham, membalas panggilan itu dengan nada yang tak terdengar.
Setelah beberapa saat hening, Dimas berkata, "Boleh aku mengatakan sesuatu?"
"Katakan saja," jawabku, berusaha menjaga ketenangan meski ada keraguan yang menghampiri.
"Kau tahu bahwa aku jauh dari kata pria yang ideal. Aku hanyalah seorang pria workaholic yang menjadikan wanita sebagai prioritas kedua. Jadi, selain dirimu, aku juga merasa asing dan terjebak dalam hubungan ini, bahkan terkadang aku bertanya-tanya apakah aku pantas memilikimu. Aku berharap kau—"
"Jangan khawatir. Aku tidak memiliki harapan yang tinggi pada pernikahan ini." Potongku dengan nada datar, meskipun di balik kata-kata itu, rasa khawatir tak sepenuhnya menghilang.
Dalam hati, aku bertanya.
'Bagaimana jika Dimas kembali menjadi dirinya yang dahulu, sebelum kita bersatu?'
Aku tak sanggup membayangkannya jika itu benar terjadi.
Sejak awal, aku berusaha menanggalkan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap pernikahan ini. Aku pun berusaha bersyukur, jika akhirnya semuanya berakhir indah, karena Dimas sanggup menerimaku sekaligus melupakan masa lalunya. Meski perlahan, aku mulai merasa nyaman berada di dekatnya.
Tanpa menunggu balasan, Dimas bangkit, mematikan lampu di atas nakas. Selimut yang sedikit tersingkap itu memperlihatkan tubuh berototnya tanpa dibungkus sehelai pakaian pun.
•••
Tidak terasa, kami telah berpelukan cukup lama hingga di kepalaku terlintas rencana kami untuk pergi ke tempat yang Dimas ceritakan semalam. Aku berniat turun dari kasur, namun seketika Dimas kembali menarikku ke dalam pelukannya.
"Dimas, lepas!" panggilku sambil mencoba melepaskan diri.
"Aku masih ingin berlama-lama denganmu, Petra," jawabnya lembut, bukan untuk membebaskanku, melainkan untuk semakin mengukuhkan dekapannya. Ia meletakkan kepalanya di atas pundakku, pelukannya makin erat.