chapter 8

11.4K 552 14
                                    

Happy reading!

Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin mengisi paru-paruku sebelum perlahan mengembuskannya kembali. Sekilas, aku menatap bayanganku di cermin. Scarf melilit leherku dengan anggun, sementara cardigan cokelat muda membalut tubuhku, memberikan kehangatan yang menenangkan.

Namun, ketenangan itu seketika sirna saat aku melangkah keluar.

Dimas masih berdiri di tengah ruangan, bertelanjang dada, dengan hanya celana panjang abu-abu yang menggantung rendah di pinggangnya. Kulitnya yang masih berkeringat memantulkan cahaya matahari yang masuk dari jendela, menyoroti kontur ototnya dengan sempurna—bahunya yang lebar, dadanya yang bidang, hingga guratan tajam di perutnya yang terlihat begitu menggoda.

Aku mengerjapkan mata, meneguhkan hati untuk tidak terjebak dalam pesona liar pria itu.

"Ayo, cepat," ucapku, berharap suaraku terdengar tegas.

Dimas melirikku, lalu mendekat dengan langkah santai. Aku sempat berpikir ia akan mengambil sesuatu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Jemarinya terulur, menyentuh scarf yang melilit leherku, menarik ujungnya dengan lembut.

"Kenapa kau memakai ini? Cuaca di luar panas, Petra. Kau akan merasa gerah," bisiknya, suaranya serak dan dalam.

Aku mendengus kesal, lalu menarik scarf itu sendiri, memperlihatkan kulit leherku yang dihiasi jejak merah keunguan. Dua kissmark yang ditinggalkannya kemarin tampak mencolok, bukti nyata betapa buasnya ia menyentuhku.

Dimas tidak segera bereaksi. Matanya menelusuri bekas itu dengan tatapan tajam, bibirnya perlahan melengkung membentuk seringai puas. Seolah ia sedang mengagumi hasil karyanya sendiri.

"Kau benar-benar tidak sadar dengan apa yang kau lakukan kemarin?" dengusku, mencoba menahan rona panas yang merayapi wajahku.

Dimas tidak menjawab. Ia justru kembali ke tempatnya semula, meraih handuk dan mulai mengusap leher serta dadanya dengan gerakan yang santai, seperti sengaja memberi kesempatan bagiku untuk kembali memperhatikannya. "Tunggu sebentar."

Aku menelan ludah, lalu duduk di sofa. Beberapa menit berlalu, tetapi suasana terasa begitu lengang, nyaris membosankan. Aku mengalihkan perhatian dengan mengambil gelang berbahan tali dari atas meja, mencoba memasangkannya di pergelangan tangan. Namun, kaitnya terasa sulit. Jemariku terus berusaha memasangnya, tetapi semakin aku mencoba, semakin terasa licin di antara sentuhan kulitku sendiri.

"Biar kubantu."

Aku mendongak, dan tanpa kusadari, Dimas sudah berlutut di hadapanku. Napasku tercekat. Ia terlalu dekat—terlalu hangat.

Aroma tubuhnya menyeruak, perpaduan maskulin dari parfum beraroma citrus dan woody yang samar-samar bercampur dengan kesegaran air. Dimas baru saja keluar dari kamar mandi, dan aku bisa merasakan sisa hangat uap air yang masih melekat di kulitnya.

Rambutnya masih basah, beberapa tetes kecil air jatuh dari helaiannya, menyusuri garis rahang tegas yang kini tampak lebih tajam. Mataku tanpa sadar menjelajahi setiap detail—tetesan air yang meluncur turun dari lehernya, melewati tulang selangka, lalu menghilang di bawah kemeja tipis yang menempel sempurna di tubuhnya. Kain itu basah sebagian, melekat erat pada dadanya, memperlihatkan lekukan otot yang tersembunyi di baliknya.

Aku menahan napas ketika jemarinya menyentuh pergelangan tanganku, mengabaikan ruang pribadi seakan itu tidak berarti apa-apa baginya. Sentuhannya tidak kasar, tapi juga tidak sepenuhnya lembut. Ada tekanan halus di sana, seperti sengaja membiarkan kulit kami bersentuhan lebih lama dari yang diperlukan.

Dadaku naik turun, berusaha meredam sensasi aneh yang mulai menguasai tubuhku.

Dimas menatapku dengan intens, sudut bibirnya sedikit terangkat, seolah tahu betul efek yang ia berikan padaku.

His touch, Her desireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang