chapter 9

10.1K 510 13
                                    

Happy reading!

Petra POV

Supermarket seharusnya tempat yang netral. Tempat yang penuh dengan lampu terang, rak-rak tinggi, suara mesin kasir yang berbunyi, serta langkah-langkah kaki orang yang sibuk memilih barang. Bukan tempat untuk merasakan sesuatu yang merayap di bawah kulit—sesuatu yang lebih panas, lebih membuat napas terasa berat.

Aku turun dari mobil dengan gerakan yang hati-hati, tapi bahkan sebelum kakiku menyentuh tanah, Dimas sudah ada di sana. Berdiri di sisi pintu, membukakannya untukku dengan gerakan yang tak terburu-buru. Tak ada ucapan yang keluar dari bibirnya, tapi ada sesuatu dalam cara dia berdiri. Cara dia menunggu.

Dimas tidak menatapku dengan sekadar melihat. Dia mengamati. Matanya gelap, tajam, dan ada ketenangan yang terlalu berbahaya dalam sorot itu. Seolah dia sedang menyelami sesuatu yang tersembunyi dalam diriku.

Aku menarik napasku lebih lambat, seakan tubuhku sendiri sedang menunda sesuatu.

"Terima kasih," bisikku.

Senyum kecil tersungging di bibirku, refleks yang selalu kulakukan ketika seseorang melakukan hal sopan. Tapi Dimas tidak membalas senyumku. Dia tetap diam, membiarkan tatapannya menjalar perlahan ke setiap inci wajahku, turun ke leherku, ke bahuku—dan entah bagaimana aku bisa merasakan tatapan itu.

Aku berpikir dia akan mundur setelah aku berdiri di sampingnya, memberi ruang agar kami bisa berjalan beriringan menuju supermarket. Tapi Dimas masih di sana, terlalu dekat. Nafasnya samar di telingaku, tubuhnya cukup dekat hingga kehangatannya terasa menembus lapisan udara tipis di antara kami.

Lalu dia melakukannya.

Dia menggenggam tanganku.

Bukan gerakan cepat, bukan tarikan tiba-tiba, tapi perlahan. Halus. Seakan dia sedang menguji seberapa jauh aku akan membiarkan ini terjadi.

Jari-jarinya kokoh membungkus telapak tanganku, menciptakan tekanan yang cukup untuk membuat seluruh tubuhku merasakan sensasinya. Aku menegang. Sekejap saja, sebelum sesuatu yang lebih dalam merayap ke tulangku.

Tidak memaksa, tapi cukup untuk membuat seluruh kesadaranku terpaku pada titik di mana kulit kami bertemu.

Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan pertanyaan yang ingin kuajukan. Tapi dia tetap tenang. Seakan ini bukan apa-apa. Seakan dia tidak menyadari bagaimana tubuhku perlahan menegang hanya karena sentuhan sekecil ini.

Aku seharusnya menarik tanganku.

Aku seharusnya mengatakan sesuatu.

Tapi aku tidak melakukan keduanya.

Aku membiarkannya.

Rasa hangat mulai meresap melalui kulitku, menjalar perlahan dari telapak tanganku hingga ke seluruh tubuhku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaan yang semakin liar.

Dimas masih diam. Tidak ada kata-kata. Lalu tiba-tiba, ia melepaskan genggaman tangannya, membuatku merasa ada ruang kosong yang seketika menggantikan sentuhan hangat itu.

Dia berjalan ke bagian troli, meninggalkanku untuk beberapa langkah. Aku berusaha menenangkan diri, berfokus pada aktivitas yang biasa—namun tubuhku tidak bisa berbohong. Aku masih merasakan sentuhan lembut itu.

Ketika Dimas kembali, dia membawa troli dan menyodorkannya padaku. "Ambil apa pun yang kau butuhkan," katanya dengan suara yang sedikit lebih rendah. "Aku ada urusan sebentar, nanti aku akan menyusul."

Aku menarik napas, mencoba kembali fokus pada hal yang lebih masuk akal—troli di depan mataku, rak-rak penuh barang, suara orang-orang berlalu lalang. Tapi semuanya terdengar jauh.

His touch, Her desireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang