Jarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Petra POV
Ballroom hotel yang menjadi pemberkatan berlangsung telah disulap menjadi ruang yang penuh kehangatan dan sakralitas. Lampu-lampu kristal yang menggantung tinggi memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan.
Suara musik Ave Maria yang mengalun pelan dari grand piano di sudut ruangan menambah kesan khidmat. Para tamu undangan duduk dengan penuh perhatian, beberapa di antara mereka tersenyum haru saat aku berjalan beriringan dengan Ayah.
Aku bisa merasakan genggaman tangan Ayah yang semakin erat, seolah ia sedang menyalurkan seluruh restunya kepadaku. Aku menoleh ke samping, melihat wajahnya yang menyimpan begitu banyak emosi. Ada kebanggaan, tetapi juga kekhawatiran yang tersirat dalam sorot matanya.
Aku mengenakan gaun pengantin ball gown klasik dengan korset yang membentuk tubuhku sempurna, membuatku merasa seperti Cinderella yang tengah melangkah menuju takdirnya.
Semua mata tertuju padaku.
Setiap detail gaun ini dirancang begitu indah, tapi yang paling mencuri perhatianku adalah pria yang berdiri di ujung sana—Dimas.
Dia menatapku. Tidak berkedip.
Dia tampak luar biasa dalam jas hitam formalnya, dengan setangkai bunga kecil terselip di saku. Mata cokelatnya penuh dengan sesuatu yang tak bisa kudefinisikan—kekaguman, keterkejutan, atau mungkin lebih dari itu.
•••
"Kau sangat cantik." Suaranya begitu pelan. "Aku sampai lupa bagaimana caranya berkedip."
Panas langsung menjalar ke pipiku. Aku cepat-cepat menunduk, menyembunyikan semburat merah yang muncul tanpa bisa kukendalikan.
Pendeta berdiri di antara kami, di hadapan altar yang dihiasi dengan lilin-lilin bernyala lembut dan bunga lili putih yang tersusun rapi. Cahaya keemasan dari jendela kaca patri di belakang altar menerpa ruangan, menciptakan suasana khidmat yang magis.
Aku berdiri dengan tangan menggenggam buket bunga erat-erat, berusaha menenangkan degup jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Dari sudut mataku, kulihat Dimas berdiri tegap di sampingku, jas hitamnya rapi, dengan mawar putih kecil terselip di sakunya.
Pendeta membuka Alkitab dan memandang kami dengan senyum damai. Prosesi pernikahan selalu diawali dengan doa pembuka dan bacaan firman Tuhan sebelum memasuki bagian inti, yaitu janji pernikahan.
Setelah membacakan ayat dari Efesus 5:25-33 tentang cinta suami istri yang mencerminkan kasih Kristus, pendeta menatap Dimas lebih dulu.
"Dimas Adelrich, di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya hari ini, aku bertanya kepadamu. Apakah kau bersedia menerima Petra sebagai istrimu, mencintainya, menghormatinya, dan setia kepadanya dalam suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam kelimpahan maupun kekurangan, sampai maut memisahkan kalian?"