Jam berapa kalian baca ini?
happy reading!
Dimas POV
Setelah berpamitan dengan Ibu dan Daisy yang masih sibuk membereskan halaman belakang, aku segera membawa Petra yang terlelap ke dalam mobil. Gadis itu sama sekali tidak terusik tidurnya ketika aku menggendongnya, tubuhnya terasa ringan di lenganku, napasnya teratur dan hangat di leherku. Sesaat aku menatap wajahnya yang begitu tenang dalam mimpi, bibirnya sedikit mengerucut, helaian rambutnya jatuh berantakan di bahuku. Begitu cantik—dan begitu milikku.
Aku meletakkannya di kursi penumpang dengan hati-hati, menyelimutinya dengan jaketku sebelum menutup pintu. Sesaat aku berdiri di luar, menatapnya di bawah temaram lampu mobil. Bayangan wajahnya terpantul di jendela, membuatku ingin mencuri lebih banyak waktu untuk mengamatinya. Tapi aku sadar, perjalanan kami masih panjang.
Sepanjang jalan hening, hanya suara mesin mobil yang mengisi ruang di antara kami. Petra masih betah memejamkan mata, tanpa tahu kalau suaminya di sini sedang kesepian. Aku tahu ia sangat kelelahan, tenaganya pasti sudah terkuras habis setelah semua yang terjadi hari ini. Pernikahan kami. Gelombang emosi yang melandanya. Dan kini, tanpa jeda, aku membawanya ke Bandung.
Aku melirik jam di dashboard. 11 malam. Perjalanan masih panjang, dan aku mulai merasa tak sabar. Aku ingin sampai di apartemen, ingin menggoda istriku soal malam pertama kami sebagai pengantin baru. Bayangan bagaimana reaksinya sudah berputar di kepalaku—rasa malu yang tercetak di wajahnya, tatapan gelisahnya, bibirnya yang mungkin sedikit menggigit karena menahan sesuatu.
Sial, aku sangat menyukai ekspresinya saat pembicaraanku mulai menjurus ke hal-hal seperti itu.
Untuk mengalihkan pikiranku, aku menurunkan kaca sedikit, membiarkan udara malam yang dingin masuk, bercampur dengan aroma parfum Petra yang samar-samar masih tertinggal di mobil. Musik jazz pelan mengalun dari speaker, menciptakan suasana yang lebih intim. Aku menghela napas, mengusir rasa tak sabar yang mulai menggerayangi tubuhku.
Tiba-tiba, suara pelan dari samping membuatku tersentak.
"Kita di mana?"
Tanpa suara erangan khas orang bangun tidur, Petra tiba-tiba bertanya. Suaranya penuh kantuk, dan entah kenapa terdengar begitu menggoda di telingaku.
Aku menoleh, mendapati istriku masih setengah sadar, mengusap kedua matanya dengan jemari kecilnya yang lentik.
"Kita masih di mobil, dalam perjalanan pulang," sahutku, kembali memperhatikan jalan. Tapi satu tanganku yang menganggur bergerak dengan sendirinya, mengelus lembut wajahnya. Kulitnya terasa halus di bawah jemariku, begitu nyata.
"Tidak jadi menginap?" suaranya terdengar lemah, masih dihinggapi kantuk.
"Tidak jadi."
"Kenapa?" Petra menegang, tatapan matanya tajam seperti elang. Aku bisa merasakan perubahan atmosfer di dalam mobil.
Aku meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. "Cause I don't wanna miss my first night as a husband. You too, right?"
Petra mengerjapkan mata, jelas tidak menyangka dengan jawabanku. "Kenapa tiba-tiba? Padahal aku sudah menyusun rencana yang akan aku lakukan nanti dengan Daisy." Suaranya sedikit merajuk, nada kecewa terdengar jelas di sana.
Aku tersenyum tipis, merasa bersalah. "Maaf. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu tadi. Aku tahu kau sangat kelelahan."
"Tidak mungkin." Petra menatapku tajam. "Aku tahu kau sengaja tidak membangunkanku, kan?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
His touch, Her desire
RomanceJarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...