Happy Reading!
Petra POV
Satu Minggu Kemudian
Langit sore di Indonesia perlahan meredup, sapuan oranye bercampur ungu menghiasi horizon. Bandara masih penuh dengan aktivitas, hiruk-pikuk manusia yang tak ada habisnya—beberapa dengan koper besar menyeret langkah ke pintu keberangkatan, yang lain bersorak bahagia menyambut keluarga yang baru tiba. Tapi aku, aku hanya berdiri di tengah keramaian, merasa begitu asing.
Pandangan mataku sibuk menjelajahi setiap sudut. Aku mencari tanda—apapun—yang menunjukkan seseorang sedang menungguku. Bukankah Ayah bilang akan ada orang yang menjemput? Seharusnya mereka membawa secarik kertas bertuliskan namaku. Tapi sudah lima belas menit aku berdiri di sini, dan tidak ada apa pun.
Perutku tiba-tiba berbunyi nyaring, memecah kebisuan pikiranku. Aku mendesah, tanganku memegang perut yang mulai terasa perih. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali makan. Waktu keberangkatan yang mendadak membuatku nyaris tidak punya waktu untuk mengurus diriku sendiri. Penerbangan dari San Diego menuju Indonesia memakan waktu lebih dari sehari, dengan beberapa transit yang seolah menjadi pengingat betapa jauhnya jarak yang kutempuh. Dari San Diego ke Los Angeles, lalu Tokyo, dan akhirnya Jakarta. Semua berantakan—jadwal, koper, bahkan emosiku. Dan sekarang, aku terdampar di tempat ini, kelaparan dan sendirian.
Kuambil ponsel dari saku mantelku. Aku mencoba menelepon Ayah. Lagi. Tapi seperti sebelumnya, hanya suara operator yang menyapa. Aku menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak memaki.
Sial. Aku terlihat seperti anak kecil yang ditinggal di tempat asing tanpa petunjuk apa-apa. Koper biru toska yang kugeret terasa makin berat, seakan mengolok-olok ketidakberdayaanku. Lalu, entah kenapa, pikiranku melayang ke Jevin.
Jevin. Tepat sehari sebelum keberangkatanku ke Indonesia, aku pergi mencarinya di tempat kerjanya. Klub malam itu masih bising seperti biasa, dengan lampu neon yang memantul di setiap sudut. Aku meminta maaf padanya, mengaku salah karena melampiaskan semua kekesalanku padanya. Aku tahu aku salah, tapi aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kekacauan ini.
Dan seperti biasanya, Jevin hanya tersenyum kecil sebelum menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan itu hangat, menenangkan, tapi juga penuh jarak. Aku tahu, dia menganggapku seperti adik kecil yang manja—seseorang yang datang padanya hanya untuk mencurahkan semua beban hati.
Pikiranku tersentak kembali ke kenyataan ketika seorang pria berjalan melewatiku sambil mendorong koper besar. Dia melirikku sekilas, dan aku langsung berpaling, merasa malu karena terlalu larut dalam pikiran sendiri.
Aku menyeret koperku menuju deretan kursi kosong di sudut ruang tunggu. Bokongku langsung jatuh di salah satu kursi dengan sedikit hentakan. Aku terlalu lelah untuk peduli pada tatapan orang-orang.
"Berapa lama lagi aku harus menunggu?" gumamku, menghembuskan napas berat. Aku mendongak, memandangi langit-langit bandara dengan tatapan kosong.
Namun, lamunanku terhenti ketika suara berat yang asing terdengar.
"Permisi," kata seseorang dari depan.
Aku mendongak perlahan, menyipitkan mata untuk melihat sosok yang berdiri di hadapanku. Cahaya lampu bandara dari belakangnya membuat wajahnya tidak langsung terlihat jelas. Hanya tubuh tinggi dan tegapnya yang mencuri perhatian.
"Iya? Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku, mencoba terdengar sopan meskipun lelah menguasai nada suaraku.
Dia bergeser sedikit, cukup untuk membuat wajahnya terlihat. Dan ketika aku melihatnya, dunia di sekitarku seperti melambat.

KAMU SEDANG MEMBACA
His touch, Her desire
RomanceJarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...