Happy reading!
Petra POV
"Kenapa kau tidak pernah cerita kalau kau tidak bisa berenang?"
Suara Dimas terdengar dalam dan tegas, menggema di ambang pintu. Aku menoleh dengan sedikit terlonjak, mendapati sosoknya berdiri di sana—bersandar pada kusen pintu dengan tangan terlipat di depan dada. Air masih menetes dari helaian rambutnya yang basah, sementara rahangnya mengeras, menahan emosi yang jelas terlihat dari garis wajahnya.
Aku menelan ludah, tubuhku masih terasa lemas setelah kejadian tadi. Sementara itu, jantungku berdetak lebih cepat, bukan hanya karena kejadian di dermaga, tapi juga karena tatapan Dimas yang begitu menusuk.
"Kau marah padaku?" tanyaku lirih.
"Iya, aku marah." Dimas menggeram, suaranya rendah tapi penuh intensitas. "Aku marah karena istriku bertindak bodoh, hampir kehilangan nyawanya, dan aku sama sekali tidak tahu bahwa selama ini dia bahkan tidak bisa berenang."
Aku menggigit bibir, merasakan panas di pelupuk mataku. Ada ketegangan dalam suaranya, sesuatu yang lebih dari sekadar amarah. Aku bisa merasakannya—rasa takut yang masih tersisa di sana.
"Maaf..." bisikku.
Dimas menghela napas panjang, seakan menekan sesuatu dalam dirinya. "Lupakan saja," gumamnya akhirnya, nada suaranya sedikit mereda, tapi tetap tegang. Ia melangkah mendekat, membuat jantungku semakin berdebar. "Aku terkadang lupa kalau yang aku nikahi ini tidak lebih dari seorang anak kecil yang ceroboh."
Aku menundukkan kepala, menatap jemariku yang saling bertaut di atas paha. Ada sesuatu yang menusuk di dalam dada mendengar kata-katanya.
Dimas mendengus kecil, lalu duduk di tepi kasur. Tangannya terangkat mengusap wajahnya, seakan mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menatapku lagi. Tatapannya lebih lembut sekarang, meskipun sisa kekhawatiran masih jelas di sana.
"Harusnya kau jangan ceroboh, Petra."
Suara itu lebih pelan, hampir seperti bisikan yang mengalir bersama hembusan napasnya.
Aku mendongak, menatapnya dari bawah bulu mataku yang sedikit basah. Nafasku tercekat saat menyadari betapa dekatnya dia sekarang. Air masih mengalir turun dari ujung rambutnya, menetes di sepanjang garis rahangnya yang tegas sebelum jatuh ke lehernya. Kaus yang dikenakannya melekat di tubuh, memperlihatkan otot-ototnya yang masih menegang akibat ketegangan yang belum sepenuhnya sirna.
Aku harusnya mengatakan sesuatu. Harusnya menjelaskan, atau membela diri. Tapi kata-kata itu tak pernah keluar, terutama ketika Dimas mengulurkan tangan, ibu jarinya menyapu pelan sisa air di pipiku.
"Jangan lakukan itu lagi," bisiknya. "Aku tidak akan membiarkanmu tenggelam... tapi aku juga tidak ingin harus menyelamatkanmu seperti tadi."
Aku melihat sesuatu dalam sorot matanya. Ada rasa bersalah yang ia sembunyikan, tapi tetap terlihat dalam caranya menatapku.
"Aku juga..." Dimas menggigit sisi dalam pipinya, tampak menimbang-nimbang kata-katanya. "Aku juga minta maaf."
Aku mengerutkan kening, menatapnya dengan bingung.
"Aku tidak langsung menolongmu."
Aku membeku.
Dimas mengalihkan pandangannya, mengusap tengkuknya yang masih basah. "Aku pikir kau hanya bercanda... pura-pura tenggelam. Aku tidak mengira kau benar-benar dalam bahaya sampai aku melihat wajahmu." Suaranya sedikit serak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. "Kalau aku lebih cepat sadar, kau tidak perlu tenggelam seperti tadi."

KAMU SEDANG MEMBACA
His touch, Her desire
RomanceJarak usia yang cukup jauh membuat Dimas tak pernah menganggap Petra sebagai lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Namun, ketika mereka bertemu kembali, waktu telah mengubah segalanya. Petra tumbuh menjadi sosok memikat yang berhasil meruntuhkan p...