Pendulum

46.6K 5.3K 241
                                    

Karena datang terlambat, aku tidak mendapatkan kursi terdepan atau ditengah, melainkan paling belakang.

Di tahun ke tiga ini, aku kebetulan mendapat kelas yang sama dengan Stephani Radeya atau Stefy, kawan yang sudah kukenal sangat baik semenjak SMP.

Saat kelas satu SMA, aku dan Stefy mengikuti ekstrakurikuler yang sama yaitu PMR atau Palang Merah Remaja.

Dan kami telah berjanji untuk duduk semeja bersama di tahun terakhir kami di SMA ini.

Sempat kupikir dia yang akan hadir duluan dikelas mengambil kursi terdepan atau kedua dari depan.

Tapi nyatanya aku tak menemukan sosoknya dikelas ini.

Dimana Stefy?

Aku masih penasaran melihat keseluruh ruangan.

Dengan celingukan, aku menghampiri dua kawanku lainnya, menanyakan keberadaannya.

"Entahlah, mungkin dia sakit."
Jelas Gerald yang duduk tepat didepanku mengangkat bahunya.
"Tapi belum ada surat ijinnya sih tadi. Daripada si Stefy, lebih heran sama kau jika sampai tak masuk."
Timpalnya seakan kegiatan bolos adalah dosa besar bagiku.

Tapi memang benar jika diingat aku tak pernah membolos satu kali pun.

Karena sekolah juga merupakan pelarian utamaku dari sepinya rumah.

Hahah!

Walau tujuan utamaku adalah berjumpa dengan kawan kelas saja tentunya.

"Aku sampai tanya kabar jika saja kau ambil ijin tak masuk pada Riky si ketua kelas abadi."

Kedua alisku mengangkat.
"Eh? langsung ditunjuk Riky? tidak ada pemilihan ketua kelas yang baru lagi?" Tanyaku sambil menjatuhkan diri dikursi.

"Tidak Luce. Aku sudah tanya tadi ke guru konseling kita."
Gery yang duduk semeja dengan Gerald menyahut sambil membolak-balikkan asal buku matematika edisi terbarunya.
"Ditunjuk begitu saja. Menurutnya, Riky pantas jadi ketua kelas lagi karena dia termasuk murid dengan nilai dan attitude terbaik."

Seketika Gerald membuat gerakan mau muntah.
"Oh yee?? seriously??"
Ia memandang dengki Riky didepan, yang terlihat cerah bersemangat seperti biasa berdiri memandang ke sekeliling
di depan meja guru sehabis menaruh map kehadiran murid tahun ajaran baru.

"Mengecewakan!"
Gerald menggeleng.
"Jika saja ada pemilihan ketua baru, aku akan menyalonkan diri-"

"Nyalon sana disalon ditemenin tuh sama Lucy-"
Potong Gery.
"Obsesi sekali sih kau jadi ketua semua kegiatan!"

Aku mendengus.

Memang benar, Gerald mempunyai obsesi untuk menjadikan dirinya sebagai kepala dalam setiap kegiatan sekolah yang ia ikuti, bahkan sempat mengikuti pemilihan ketua OSIS namun kalah sangat tipis yaitu satu suara dengan Sam Ezra, yang katanya dapat membuatnya 'kejang-kejang' jika teringat.

Gery Raditya dan Gerald Mikhael, merupakan kawan solid semenjak hari pertama kumasuk SMA. Kami beruntung mendapat kelas yang sama sampai kelas tiga ini.

Mereka berdua seperti kembar, selalu bersama. Mempunyai kesukaan yang sama yaitu bermain basket.

Gerald lah yang menjadi ketua basket SMA-ku. Tapi Gery sama handalnya dengan Gerald.
Postur yang cukup tinggi mendukung permainan basket mereka.

Perbincangan kami terhenti setelah ada guru datang ke kelas kami, namun bukan guru matematika, melainkan Guru fisika kami di tahun sebelumnya, Ibu Jenni.

"Pagi anak-anak."
Sapanya, dengan jari telunjuk  menyingkirkan rambut yang menghalangi matanya. Ia terlihat seperti baru sampai juga.
"Kalian untuk mata pelajaran pertama ini ibu yang mengajar, menggantikan Pak Roby yang tidak masuk karena berhalangan."

Anak-anak kelas terlihat tidak peduli.

Tidak ada bedanya, diajar Pak Roby atau bukan, tetap mata pelajaran pertama adalah 'Matematika'.

Ibu Jenni melakukan pengecekan kehadiran murid secara singkat, kemudian berjalan mendekati Kartika yang duduk paling depan untuk melihat buku materi Matematika yang tergeletak di mejanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ibu Jenni melakukan pengecekan kehadiran murid secara singkat, kemudian berjalan mendekati Kartika yang duduk paling depan untuk melihat buku materi Matematika yang tergeletak di mejanya.

Setelah membolak-balik halaman buku Matematikanya sebentar, ia langsung menjelaskan bab satu dari buku tersebut.

Aku mengganggu Gery ketika itu.
"Pssst Gery!!"
Sambil menyolek bahunya aku menyengir.

"Tumbenan yah guru favoritmu tidak masuk? Tidak pernah dia tidak masuk bahkan dihari libur minggu saja aku tetap melihat mobilnya ada di parkiran depan sekolah."

Gery hanya menengok padaku memperlihatkan ekspresi wajah jijiknya. Ekspresi wajahnya itu berhasil membuatku dan Gerald tertawa.

Gery dan Gerald terkenal sekali sering terkena amarah dari Pak Roby, karena suka tidak memperhatikan pelajaran.

Pada dasarnya mereka memang benci pelajaran berhitung dan juga menganggap Pak Roby sosok guru terlalu kolot dan galak.

Kami telat menyadari betapa kerasnya tawa kekehan ketika sekelas menatap kami semua, termasuk Bu Jenni.

"Kalian--"
Tukasnya sambil menunjuk.
"Kemari!!"

Kami bertiga maju perlahan ke meja guru. Gerald menggerutu disampingku tentang Bu jenni kerasukan roh Pak Roby.

Sedangkan aku berpikir bagaimana dalam waktu kurang dari sejam, dihari pertama masuk, aku sudah terkena omelan dari dua guru.

Hebat.

Ketika kami sampai dimeja depan, Bu Jenni berbicara dengan keras.

"Ibu mau aturan kelas tahun lalu diberlakukan kembali,"

Terdengar suara tarikan napas kencang para murid.
Aku bahkan ikut menatap horor ke semua teman kelasku.

"-Yaitu aturan mengumpulkan ponsel, tab dan laptop ke dalam boks yang akan saya pindah kan ke lemari guru di lantai satu untuk dikunci dan boleh diambil ketika pulang-"

Seketika satu kelas berteriak mengeluh.

"Diam anak anak dan kumpulkan semuanya kedepan!"
Bu Jenni menatap kami bertiga.
"Ayo, serahkan gadget kalian!"

Sambil mengerang semua anak maju dan mengumpulkan semua gadget mereka ke box putih yang diambil Bu Jenni dari atas lemari.

Peraturan ini muncul akibat Gerald tahun lalu ketahuan bermain game di ponselnya saat pelajaran pak Roby berlangsung. Pak Roby pun murka sekali dan langsung turun ke ruang wakil kepala sekolah meminta ijin untuk menyita gadget murid sebelum kegiatan belajar dimulai.

Dan sayangnya, hal ini menjadi inspirasi dan diterapkan oleh guru mata pelajaran yang lainnya.

Beberapa murid masih sempat mencoba berdebat dengan Bu Jenni karena lagipula masalah utamanya kami yang ribut tertawa bukan karena tertangkap bermain gadget, namun tetap saja pada akhirnya kalah.

Dengan tatapan merana semua menaruh ponsel masing-masing dengan sangat lembut, bagai menaruh bayi ke dalam kotak.

Sambil mengumpulkan, semua murid jadi melempar pandangan kesal pada Gery, Gerald,

Dan juga padaku.

RED CITY : ISOLATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang