Apa yang terlintas di benakmu ketika diajukan sebuah konsep mengenai: bagaimana manusia saling membentuk hubungan? Bagaimana mereka tertarik untuk menciptakan sebuah relasi?
Natural. Seperti ayah dan ibu yang menjadikannya anak? Paman dan bibi yang menjadikannya keponakan?
Atau spesifikasi. Seperti guru dan murid, bos dan karyawan, ibuk kos dengan saya, rentenir dan tukang hutang?
Lalu bagaimana dengan teman chat? Sahabat? Atau mungkin seseorang yg lebih spesial?
Apakah mereka masuk kategori natural genetic? Absolutely, nope.
Jadi spesifikasi? Spesifikasi apa yang ada pada keduanya? Oke, anggaplah spesifikasi dalam hal bersosial dan berafeksi. Maka baru dapat dimasukkan ke poin kedua.Tapi jika kita coba untuk memahami lebih jauh, semua itu tak lebih hanya berawal dari motif pribadi. Keinginan diri manusia untuk memenuhi kebutuhan.
Merasa pernah berdialog (atau monolog) seperti ini: "Kau mengaku sahabatku tapi hanya datang padaku saat butuh bantuan? Pergi saja ke laut!"
Atau
"Padahal dulu kita kaya kembar siam, kemana-mana bareng, ga bisa dipisahin lah pokoknya. Tapi sekarang rasanya ada sesuatu yang hilang. Bukan hanya momen bersamanya, tapi sesuatu yang lebih dalam. Perasaan."
Ya, itulah ironi. Kebutuhan. Hanya karena itu kita "terpaksa" membentuk hubungan? Ehehe.
Mungkin untuk itu kita dilarang memutuskan tali silaturahmi. Karena jika bisa melakukannya itu tanpa ada unsur "terpaksa" berarti selamat, kamu adalah manusia hebat ^^b
Tapi tunggu dulu, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah pahala juga merupakan motif? Satu tujuan yang sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Kebutuhan rohani. Jadi ... yaa ... saya hanya bisa mengucapkan selamat datang di zona paradoks :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragmen Dirgahayu
RandomPikiran adalah satu wadah dua arah Hanya jika ia terbuka Pikiran adalah sebilah candrasa Hanya jika ia terasah Pikiran adalah kebulatan tanpa ilusi Hanya jika ia termaknai . . . Diperbaharui setiap mood saya bereaksi