Kok jadi bingung ya, di luar sana ada yang bikin definisi sendiri tampaknya. Ya, susah sih memang, ngomong pakai bahasa sendiri aja harus buka kamus dulu. Xixixi.
Fakta fak·ta n hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi
fak·tu·al a berdasarkan kenyataan; mengandung kebenaran: laporan yang tidak -- tidak dapat dipertanggungjawabkan
Realitas re·a·li·tas /réalitas/ n kenyataan
(Plis, jangan bilang realita realita lagi, karena ada -s nya. Kalo nggak ada -s nya nanti nggak dingin--halah)Real re·al1 /réal/ a nyata
Jadi fakta dan realitas, keduanya sama ya. Jadi sama-sama sifatnya real, bukan sureal--lah sureal ngga ada di KBBI. Itu jangan lupa n sama a juga perlu dipahami biar nggak bingung memilih definisi. Noun untuk kata benda, dan a untuk adjective (kata sifat)
Sementara itu,
Fiksi fik·si n 1 Sas cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); 2rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan: nama Menak Moncer adalah nama tokoh -- , bukan tokoh sejarah; 3 pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran
Fiktif fik·tif a bersifat fiksi; hanya terdapat dalam khayalan: cerita “Pengantin Kali Ciliwung” ini adalah cerita -- belaka; bulan ini ia terpaksa membuat laporan -- kegiatan yang dikelolanya
Tuh kan, sama saja prinsipnya. Adjektiva menjelaskan kata benda. Yaudah, as simple as that. Selamanya akan tetap seperti itu.
Nambah lagi deh, biar makin sip,
imajinasi/ima·ji·na·si/ n 1 daya pikir untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang; 2 khayalan
imajinatif/ima·ji·na·tif/ a mempunyai atau menggunakan imajinasi; bersifat khayal
Nah, kita mulai bahasannya.
Letak ketidaksetujuan saya adalah begini. Ketika membandingkan karya manusia dengan karya Tuhan, apakah itu masih dianggap relevan? Bisa sih, cuma nanti akan kembali ke Anda sendiri. Maaf kalau misal agak over generalisasi.Ibaratnya begini, anggap dulu karya Tuhan yang terekam lewat tulisan itu adalah fiksi. Semua yang belum terjadi dan terekam oleh sejarah bersifat fiktif. Ini juga menurut saya over generalisasi juga sih. Nah, ketika kita kembali kepada karya Tuhan yang lain, yang belum terjadi, misalnya tentang jodoh, mati, rezeki. Itu semua fiktif? Khayalan kah? Jika khayalan, berarti Anda bisa saja nggak mati dong? Nggak punya jodoh? Mau?
Kemudian, ketika mengklasifikasikan kitab yang notabene karya Tuhan adalah fiksi, maka akan ada standard ganda. Di dalam kitab tersebut ada tiga hal besar: (1) yang telah terbukti secara empiris, dan kita yakin 100% itu fakta, entah diterima atau nggak, (2) yang belum terjadi, bisa jadi visi sehingga menjadi peringatan bagi kita, dan (3) yang sebatas menjadi abstrak, karena kitab suci yang saya tahu juga memiliki unsur seni dalam penyampaiannya.
Nah kan jadi bingung kalo misal kekeuh mau pakai patokan waktu. Poin (1) sudah terjadi dan menjadi common sense, tidak terelakkan bahwa itu adalah kenyataan, dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Poin (2) well, iya nggak ya? Kiamat itu kaya begitu nggak ya? Belum lagi poin (3) yang ketika kamu pakai kacamata kuda, nggak berpikir lateral, poin itu akan lenyap dari sudut pandangmu. Jadi, kitab suci sekarang fakta atau fiksi?
Tunggu ..., jangan dijawab dulu. Kita bikin dulu ini makin chaos. Hehehe. Kita bandingkan dengan sejarah deh. Sejarah itu udah jelas fakta toh ya? Lha wong udah terjadi. Ah, yakin? Kok bisa bilang begitu, emang kamu hidup dan menyaksikan di zaman itu? Bagaimana jika ternyata sejarah yang diberikan di sekolah sebagian ada yang dimanipulasi atau terjadi bias dalam studi ilmiahnya? Kalau ada yang seperti itu kan jadi nggak bisa bilang sejarah itu 100% fakta. Tidak ada yang bisa jamin sekian persen bukan merupakan hasil konspirasi dan konfabulasi. Maka ketika diserahkan ke tangan manusia, semua hasil hanya akan bisa mendekati sempurna.
Oya, uniknya lagi, Bahasa Indonesia itu tidak ada bentuk past, present, dan future. Jadi, sebuah kata tidak bisa sendirian untuk bisa menunjukkan keterangan waktu. Sama, ketika kamu bilang itu adalah sebuah fakta, apakah harus sudah atau pun terjadi saat ini? Bagaimana fakta tentang kiamat? Atau jangan-jangan kiamat cuma fiksi? Baca-baca dulu gih tentang teori kiamat, yang nggak harus berlandaskan tentang agama kok, tetapi murni dari pemikiran ilmiah. Ya logika sederhananya kiamat pasti akan terjadi, karena semua hal yang ada di bawah naungan waktu punya umur. Entah itu kapan dan sebatas aspek apa kiamat akan terjadi. Who knows.
Nah, jadi kalau begitu, menurut kamu, kiamat itu fakta atau fiksi?
Kalau menurut saya ya tetap bisa menjadi fakta.
Barangkali ia memang sudah terjadi di masa depan. Kita kan hanya menghidupi dimensi ketiga. Kan secara teori, semua hal bisa terjadi dalam waktu bersamaan ketika kamu berada di dimensi lebih tinggi?Di bawah naungan waktu
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragmen Dirgahayu
CasualePikiran adalah satu wadah dua arah Hanya jika ia terbuka Pikiran adalah sebilah candrasa Hanya jika ia terasah Pikiran adalah kebulatan tanpa ilusi Hanya jika ia termaknai . . . Diperbaharui setiap mood saya bereaksi