"Apa kau sudah menghubungi Nick, Stevan?"
Laki-laki paruh baya berusia lima puluh delapan tahun yang menjabat sebagai asisten pribadi Paul itu tersenyum tipis lalu berkata. "Sudah, Tuan."
Dahi Paul berkerut dalam. "Lalu kenapa dia belum datang juga? Apa kerusuhan itu masih berlangsung?" tanyanya sambil melirik jam tangannya dengan tak sabar. Sudah satu setengah jam Paul menunggu kedatangan putra sulungnya di salah satu kamar hotel Grand Hyatt pasca peristiwa penembakan yang di lakukan oleh anggota M16 tersebut.
"Saya rasa Tuan Muda Nicholas memang sedang mengurus kasus kerusuhan itu, Tuan."
"Hubungi lagi." sahut Paul cepat. "Ini sudah larut malam dan aku tidak mau menunggunya lagi. Eliza pasti mencemaskanku. Dan sebaiknya kau atur kembali beberapa pertemuan bisnis dan jadwal kunjunganku ke USA besok." tambahnya kemudian.
"Baik, Tuan." Stevan pamit undur diri dan segera melaksanakan tugasnya.
Tak lama kemudian terdengar suara bel dan Paul pun segera beranjak membuka pintu, mendesah lega ketika melihat Nicholas yang berdiri di hadapannya. "Akhirnya kau datang juga. Apa kasus kerusuhan itu sudah selesai?"
"Sudah." sahut Nicholas sambil melangkah memasuki kamar VVIP itu. Dia merebahkan tubuh letihnya di sofa sambil mengurai ikatan dasinya dengan gerakan lambat.
"Lalu bagaimana kelanjutannya? Apa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membuat kerusuhan tersebut?"
Nicholas nampak terdiam sejenak. "Itu belum di pastikan, Ayah. Para perusuh itu membuat gedung perkantoran Sander's Company terbakar dan untungnya, tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu." jelasnya datar. "Apa Clarisse sudah pulang?"
Paul mengangguk. "Sudah. Aku menyuruh Robert untuk mengantar Clarisse pulang dan mungkin saat ini adikmu sudah berada di rumah bersama Ibumu."
"Lalu apa yang terjadi setelah aku tak ada di pesta itu? Benarkah ada penembakan sesaat setelah acara dansa berakhir?"
"Ya. Seorang laki-laki berjas biru di tembak mati tepat di bagian dada kirinya. Dan ternyata dia adalah target M16. Mereka terlihat begitu ahli dan ku rasa." Paul menatap putranya dengan serius. "Mereka mempunyai sniper handal yang mampu meluncurkan peluru kaliber besar itu dari jarak kurang lebih dua hingga tiga ratus meter dan tepat mengenai jantung laki-laki itu. Menurutmu, siapa sniper yang mereka miliki, Nick?"
Nicholas tak terlalu kaget jika M16 mempunyai segudang sniper handal. Namun ketika dia mengingat kembali fakta terbaru laki-laki yang di cintai Clarisse, mulutnya seketika bungkam. Bukan tanpa alasan dia menjadi diam seperti itu. Dia tentu bisa membayangkan masalah baru apalagi yang akan Clarisse hadapi jika Ayahnya mengetahui kalau mungkin Tristan lah salah satu sniper yang melakukan aksi tersebut. "Entahlah. Aku tak tahu, Ayah." elaknya halus sambil beberapa kali menghela nafas panjang.
Paul menaikkan alisnya, mengamati penampilan putranya yang nampak berantakan dan kelelahan. "Apa kau ingin Ayah memesan makanan?"
"Tidak." Nicholas menatap Ayahnya dengan tatapan yang entah mengapa membuat Paul penasaran.
"Ada apa?"
Paul menunggu penjelasan putranya dan terheran-heran saat Nicholas justru hanya diam membisu tanpa berniat menjawabnya.
"Apa yang kau pikirkan sebenarnya, Nick?"
"Tidak ada apa-apa." Nicholas memijit keningnya pelan. Dia menghindari tatapan tajam Paul yang menyelidiki. "Bisakah aku tidur di sini saja?"
Alis Paul saling bertautan. "Kau ingin tidur di sini?"
"Ya."
"Baiklah. Kalau begitu Ayah sebaiknya pulang saja. Ibumu mungkin sedang menunggu Ayah pulang sekarang." tak lama kemudian Paul bersiap-siap hendak pulang ke rumahnya dengan Stevan. Sementara Nicholas bergegas merebahkan tubuh letihnya di ranjang mewah yang di lapisi sprei putih tulang dan bed cover berwarna gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Target Man
Romance17+ (Cerita sudah diterbitkan secara self publish. Tersedia juga di google playbook) Tristan, pria pendiam yang memiliki masa lalu kelam di hadapkan pada permasalahan sulit ketika di pertemukan dengan Clarisse Peterson, wanita cantik yang tanpa disa...