Part 43

33.3K 2.3K 187
                                    

Rumah sakit di kota Dover terlihat ramai usai Paul Peterson menginjakkan kakinya di sana. Kehadiran lelaki paruh baya yang menjabat sebagai wakil Perdana Menteri David Cameroon itu tentu saja membuat sejumlah orang tertarik dan hal itu pun tak luput dari media massa yang entah sejak kapan, sudah menunggu kedatangannya dan berusaha mendapatkan informasi atas apa yang baru saja terjadi di Dover, terutama mengenai serangan pihak dinas intelijen MI6 yang melibatkan putra Paul, Nicholas Peterson.

Entah dari mana kabar ini berhembus, yang pasti dengan adanya kabar tersebut, sejumlah media massa pun semakin gencar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi walaupun sudah ada peringatan keras dari pihak penegak hukum lainnya, termasuk scotland yard dan DIS agar permasalahan ini tidak di ekspos secara berlebihan. Mereka bahkan tak segan-segan akan menjatuhi hukuman tindak pidana bagi media massa yang melanggarnya dengan sengaja.

Dan dengan di bantu oleh beberapa pengawal sekaligus asisten setianya, Stevan, akhirnya Paul bisa meloloskan diri dari kurungan media massa yang juga menjerat istrinya di saat yang bersamaan.

Mereka pun segera berjalan menyusuri koridor panjang rumah sakit itu dengan hati di penuhi kecemasan. Jika Paul terlihat sangat tegang dan kaku, lain halnya dengan Eliza. Raut wajah wanita paruh baya itu tampak tak bisa menyembunyikan kepanikannya lagi.

"Sebelah sini, Tuan." Stevan berucap pelan saat pintu lift berdenting di lantai tiga.

Mengikuti instruksi Stevan, Paul pun bergegas melanjutkan langkahnya lagi dan kemudian berhenti saat mereka tiba di ruang tunggu khusus operasi. Tapi tidak bagi Eliza, wanita itu tidak bisa meluapkan perasaannya lagi ketika Clarisse juga berada di sana, Duduk termenung dalam kesendiriannya sambil menitikkan airmata. Penampilannya pun tampak berantakan mengingat Clarisse belum mengganti pakaiannya sama sekali.

"Sayang...."

Mendongak, Clarisse segera menyambut kedatangan Ibunya yang menawarkan apa yang di butuhkannya saat ini. Sebuah pelukan. Pelukan hangat yang mampu mengirim kekuatan padanya di saat tubuhnya nyaris tak mampu berdiri tegak lagi. "Ibu...."

"Kau baik-baik saja?" ujar Ibunya sambil mengelus rambut Clarisse dan mengecupnya dengan lembut.

"Ya... Aku.. Aku tidak apa-apa... Tapi Tristan dan Nick..." ucapannya terhenti karena isakannya sendiri.

Eliza melepas pelukannya dan menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Ada apa dengan Tristan dan kakakmu?"

Cairan bening semakin banyak mengalir di pipi Clarisse yang memerah. "Mereka mengalami luka tembak dan kondisi mereka tak stabil. Dokter bilang ada bagian tubuh mereka yang mengalami luka fatal hingga tindakan operasi pun harus di lakukan sesegera mungkin."

"Oh, sayangku...." Eliza memeluk Clarisse lagi. Airmata pun turut jatuh membasahi pipinya ketika putranya juga mengalami hal serupa dengan Tristan. "Sudah berapa lama kau menunggu operasi mereka seorang diri?"

"Sudah empat jam." sahut Clarisse hampir tak terdengar. "Tapi aku tak sendiri, ada teman-teman Tristan yang tadi menemaniku. Hanya saja, mereka harus pergi memenuhi panggilan MI6 untuk memberi keterangan satu jam lalu." mata Clarisse yang basah kemudian memandangi Ayahnya yang kini berdiri kaku di belakang Ibunya. Sementara Stevan sudah meninggalkan mereka beberapa saat lalu, memberikan waktu privasi yang di butuhkan oleh ketiganya. "Ayah?"

Paul menatap Clarisse dengan sendu. Ia sudah mendengar apa saja yang terjadi selama peristiwa penculikan itu berlangsung dari pihak MI6, termasuk luka serius yang di alami Tristan dan bom waktu yang meledak sesudah Nicholas keluar dari sana.

Tak tahu apa yang di pikirkan oleh Paul, Clarisse pun menghampiri Ayahnya sambil menangis sedih. "Maukah kau memaafkanku? Aku tahu, aku salah karena tak mau mendengarkanmu. Aku juga salah karena tak mau menuruti apapun keinginanmu. Tapi ku mohon... Untuk kali ini saja, jangan paksa aku meninggalkan Tristan lagi. Dia tidak seperti yang kau pikirkan. Dia bahkan menyelamatkan nyawaku hingga terluka parah seperti ini." Clarisse berdiri di hadapan Paul sambil terus mengamati bola mata Ayahnya yang tidak terbaca itu. "Ayah, please... katakan sesuatu..."

The Target ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang