Hotel Grand Hyatt nampak ramai dari biasanya. Hotel yang terletak di kawasan London Utara itu memang jarang sekali menyelenggarakan pesta kaum muda dan sosialita bagi kalangan menengah ke atas. Tapi karena permintaan khusus seorang pemimpin partai konservatif sekaligus Wakil Perdana Menteri Inggris, Paul Peterson, ballroom hotel itu akhirnya di sulap menjadi tempat ajang perkenalan putri bungsunya, Clarisse Vivien Peterson, kepada publik. Ini tentu pertama kalinya laki-laki paruh baya berusia enam puluh tahun itu terbuka tentang keluarganya. Tak hanya itu pula, Paul juga mengundang beberapa pesohor Inggris seperti artis-artis ternama dan anggota parlemen yang bekerja di house of commons atau Majelis Rendah Inggris.
Antusiasme para laki-laki muda yang turut hadir di pesta itu tentu saja tertuju pada putri Paul, Clarisse Peterson, yang hari itu terlihat sangat cantik mengenakan gaun sutra mewah berwarna hitam. Gaun karya perancang terkenal Inggris itu membalut tubuh ramping Clarisse dengan menawan. Garis lehernya yang sedikit rendah dan berbentuk huruf V kian memperlihatkan keindahan payudara lembut wanita yang nampak menyembunyikan kesedihannya itu. Entah sudah berapa kali Clarisse berdiri kaku dan tegang saat di perkenalkan dengan pemuda-pemuda yang menurut Paul dan Nicholas berpotensi menjadi calon tunangan Clarisse selanjutnya.
Acara masih berlanjut hingga Nicholas memperkenalkan sahabatnya yang berprofesi sebagai pengacara handal pada Clarisse. "Kenalkan, Clare. Ini sahabatku semasa kuliah dulu, Robert Green."
Laki-laki tampan berambut pirang itu tersenyum lebar. "Hai, Clare. Senang bertemu denganmu lagi." ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
Seulas senyum paksaan terbit di bibir merah Clarisse. Dia kemudian menjabat tangan Robert sekilas. "Ya." sahutnya ringkas.
"Lama tak bertemu, kau semakin dewasa dan cantik saja ya?" binar mata hijau Robert nampak berkilat kagum.
Clarisse mengerutkan dahi mulusnya. "Apa kita pernah saling mengenal sebelumnya?"
"Dulu, Robert sering ke rumah dan main bersamaku. Apa kau tidak ingat, Clare?" kata Nicholas menengahi.
Clarisse nampak berpikir sejenak, mencoba mengingat hal apapun tentang laki-laki itu. "Maaf, aku tidak ingat."
Robert tersenyum maklum. "Tidak apa-apa." dia mengalihkan pandangan matanya pada Nicholas. "Wajar saja dia tak ingat denganku, Nick. Bukankah pada saat aku bermain denganmu umurnya baru empat tahun?"
"Ah..." Nicholas menyesap champagne-nya sekilas. "Kau benar. Clarisse masih kecil saat itu. Katakan padaku, sudah berapa lama kau menetap di North of Ireland?"
"Sudah hampir tujuh tahun. Lalu bagaimana denganmu sendiri, Nick? apa kau sudah berhasil meraih cita-citamu menjadi Direktur Jenderal Scotland Yard?"
"Belum. Aku masih harus berjuang keras untuk mendapatkan kedudukan tinggi itu." Nicholas melirik Clarisse yang bergerak tak nyaman di bawah tatapan memuja laki-laki di sana. "Kenapa?"
Mata Clarisse menatap kakaknya penuh permohonan. "Bolehkah aku pulang sekarang?" bisikannya terdengar lirih.
"Nanti. Lagipula Ayah masih berbincang dengan rekan kerjanya di Parlemen." sahut Nicholas cepat sambil mengamati Ayahnya yang sibuk menemani beberapa tamu terhormatnya di sudut ballroom tersebut.
Entah mengapa Clarisse merasa gelisah. Terlebih ada beberapa laki-laki yang sengaja mengulas senyum lebar kepadanya dan Nicholas pun nampaknya tak mengkhawatirkan hal itu sedikitpun. "Apa kau tidak lihat sebagian laki-laki di sini terlalu menatapku..... Terang-terangan?"
Nicholas mengedarkan pandangannya ke sekeliling ballroom tersebut lalu tertawa renyah. "Apa kau tak sadar siapa yang melirikmu di seberang sana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Target Man
Romance17+ (Cerita sudah diterbitkan secara self publish. Tersedia juga di google playbook) Tristan, pria pendiam yang memiliki masa lalu kelam di hadapkan pada permasalahan sulit ketika di pertemukan dengan Clarisse Peterson, wanita cantik yang tanpa disa...