Tristan memaku pandangannya ke arah Clarisse yang sedang menyesap wine-nya, memperhatikan lekukan lembut leher jenjang wanita itu yang entah mengapa membuat hatinya resah dan gelisah. Baru kali ini dia merasakan sesuatu pada seorang wanita setelah sekian lama hatinya membeku karena kenangan masa lalu tragis yang hingga kini masih dia ingat. Kenangan itu membekas di tubuhnya yang tidak akan hilang walau pun dia mencoba melupakannya sekuat tenaga.
"Tristan?"
Suara halus Clarisse menyentak lamunan Tristan seketika. "Ya?" sahutnya memperhatikan wanita yang kini memandanginya dengan bola mata biru terindah yang pernah dia lihat.
"Apa kau tidak..." Clarisse berdehem sejenak. "Apa keputusanmu sudah final?"
Dahi Tristan mengernyit dalam. "Keputusan apa?"
"Keputusanmu yang tidak menyetujui perjodohan ini?"
Tristan terdiam. Kenapa wanita ini bertanya tentang hal itu lagi? "Aku belum tahu." sahutnya datar. Dia tak berminat sedikit pun pada kata pernikahan dan embel-embel yang turut menyertainya seperti cinta dan kasih sayang.
Clarisse tersenyum tipis, berusaha menutupi gurat-gurat kekecewaan yang kini terlukis di wajahnya. "Baiklah. Aku akan memberitahu Ayah mengenai hal ini." Clarisse bangkit dari kursi dan melangkah pergi sebelum Tristan menahan lengannya.
"Wait a second."
Sentuhan itu membuat tubuh keduanya menegang, menciptakan kedekatan tak asing pada mereka. Baik Tristan mau pun Clarisse tidak berniat melepaskannya hingga beberapa detik menggelisahkan yang membuat detak jantung mereka turut bertalu-talu dengan hebat.
Clarisse mengamati raut wajah Tristan yang sangat tampan dan kedalaman mata hazelnya yang memukau, mencoba menahan jarinya yang hendak menyentuh wajah maskulin yang perlahan-lahan mulai merasuki hatinya, mengobarkan perasaan tak masuk akal yang malah semakin berkembang untuk laki-laki itu.
"Ada apa?" tanyanya kemudian, mencoba berpikir jernih di sela detak jantungnya yang menggila saat dia menyadari perasaannya yang entah sejak kapan tumbuh untuk laki-laki itu.
Tristan melepas pegangan tangannya. "Lebih baik kau tidak usah memberitahu Ayahmu terlebih dahulu."
"Memangnya kenapa?"
Tristan terdiam sejenak. "Karena aku belum tahu jawaban apa yang harus aku katakan pada Ayahmu itu."
"Bukankah kau sudah menolak perjodohan ini?"
Tristan menaikkan alisnya ketika mendengar nada suara Clarisse yang sedikit kesal itu. "Aku tidak bilang aku menolaknya. Aku hanya bilang belum tahu."
"Bukankah itu sama saja?"
"Setahuku itu tidak sama."
Entah kenapa Clarisse semakin kesal dengan sikap Tristan yang plin plan. Ada apa dengan laki-laki itu? "Oh ya? Apanya yang tidak sama? Fine kalau kau bilang belum tahu, tapi itu tetap saja artinya kau tidak menyetujui rencana perjodohan ini kan? So, what's different?"
Mata Tristan membesar mendengar kekesalan Clarisse. Dia pikir Clarisse adalah wanita pemalu yang tidak berani menegurnya. Tapi, dia salah. Clarisse benar-benar menunjukkan sifat tak terduganya itu.
Sementara Clarisse menoleh dan mengamati Tristan yang sedang berusaha menyembunyikan senyuman lebarnya. Seketika itu juga dia sadar kalau ucapannya barusan sangat tidak sopan. "Maaf, kalau tadi aku berbicara tidak sopan padamu." gumamnya sambil tersenyum malu.
"Tidak apa-apa. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku membuatmu kesal."
"Tidak tidak. Aku tidak kesal padamu. Aku hanya sedikit..." Clarisse menggigit bibirnya di saat dia hampir saja mengucapkan kata 'sebal'

KAMU SEDANG MEMBACA
The Target Man
Romance17+ (Cerita sudah diterbitkan secara self publish. Tersedia juga di google playbook) Tristan, pria pendiam yang memiliki masa lalu kelam di hadapkan pada permasalahan sulit ketika di pertemukan dengan Clarisse Peterson, wanita cantik yang tanpa disa...