Part 19

38.9K 2.5K 51
                                    

Clarisse mengaduk-aduk braise soup-nya dengan enggan. Entah sudah berapa lama dia memandangi sup tersebut tanpa berniat mencicipinya sedikitpun. Tak hanya itu pula, Clarisse juga mengacuhkan salad buah dan sayuran yang selama ini selalu menjadi makanan favoritnya. Suasana ruang makan yang biasanya hangat itupun mendadak berubah menjadi kaku dan canggung.

Melihat putrinya yang sama sekali tidak berselera, Eliza pun berniat menyudahi kesunyian di ruang makan yang juga di hadiri oleh Nicholas tersebut. "Clare, apa kau mau di buatkan sesuatu?"

Clarisse tersentak dari lamunannya lalu memandangi Ibunya dengan senyum tipis terkembang di bibirnya, "Tidak perlu, Mom. Aku hanya belum terlalu lapar." balasnya pelan.

Eliza mendesah. Entah sudah berapa kali dia membujuk Clarisse untuk makan. Kebiasaan yang tidak pernah di lakukannya lagi semenjak putrinya itu beranjak dewasa. Clarisse adalah anak cerdas dan baik hati yang selalu menuruti apapun perintahnya hingga menjadikannya anak yang paling di sayangi. Begitu pula dengan Nicholas dan Paul yang terlalu overprotective terhadapnya. Mereka punya cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya walaupun tindakan mereka cenderung mengekang kebebasan putrinya itu. "Jika kau tidak mau makan, nanti kau akan sakit, sayang. Makanlah."

"Tidak, Bu. Nanti saja."

Nicholas melirik Clarisse yang kini membisu. Wajahnya memang tak menunjukkan kesedihannya, tapi dia tahu pasti kalau Adiknya itu mendadak berubah karena Tristan. Laki-laki yang entah mengapa bisa mempengaruhi Clarisse hingga seperti ini. "Apa kau lebih memilih mati kelaparan daripada mematuhi perintah Ibu, Clare?" tanyanya tajam.

Clarisse mengalihkan pandangan matanya pada Nicholas. "Itu bukan urusanmu, Nick." sahutnya datar.

Nicholas mendesah sebal. "Mau sampai kapan kau seperti ini, hah? Apa kau tidak bisa menyingkirkan ingatan konyolmu itu tentang Tristan sejenak saja?"

Gerakan tangan Clarisse terhenti seketika. "Aku tidak mau membicarakan hal itu."

"Jika kau tidak mau membicarakan hal itu, sebaiknya kau makan sekarang juga." perintah Nicholas tegas.

"Aku belum lapar dan aku tidak berniat mematuhi perintahmu. Tidak sekarang dan juga nanti." tukas Clarisse tak mau mengalah.

Mata Nicholas menyorot mata adiknya dengan tajam. Baru kali ini Clarisse berani membalas setiap ucapannya dengan lancang. "Dengar, Clare. Selagi Ayah tidak ada, kau di haruskan mematuhi setiap perintahku. Apapun itu. Kau mengerti?"

Mata Clarisse berkilat marah."Oh, ya? Apa aku harus mematuhi perintah orang yang sudah memisahkanku dengan cintaku sendiri? Apa menurutmu sikapmu yang overprotective itu mengesankan?!"

Melihat kedua anaknya berargumen, Eliza berusaha menengahi. "Hentikan. Jangan bertengkar seperti ini. Dan Nick, jangan memaksakan kehendakmu lagi pada Clarisse." ucapnya sambil memandangi putra-putrinya dengan cemas.

"Dia harus di sadarkan kalau Tristan itu bukan laki-laki baik, Bu." gumam Nicholas mendesis kesal. "Lagipula bukan aku yang memisahkanmu dengan Tristan. Tapi keadaan yang tidak memihakmu, adik kecilku. Laki-laki itu juga tak terlihat mencintaimu. Jadi buat apa kau mencintainya kalau dia sendiri tak memiliki perasaan yang sama terhadapmu?!"

"Nick, hentikan ucapanmu itu!" suruh Eliza keras.

Hati Clarisse berdenyut menyedihkan mendengar ucapan kakaknya barusan. Cairan bening mulai mengumpul memenuhi matanya, mengancam akan membasahi pipinya seketika. Dia tak percaya Nicholas bisa menyakitinya meski hanya melalui ucapannya saja. Sementara Eliza beranjak mendekati putrinya yang nampak tak kuasa membendung airmatanya lagi. Sebagai seorang Ibu, tentu dia bisa merasakan apa yang kini di rasakan oleh Clarisse.

The Target ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang