Part 27

37.1K 2.3K 59
                                        

Sudah satu jam suasana yang tercipta di dalam mobil range rovers berwarna hitam begitu hening. Keadaan itu tetap tak berubah walaupun jarak yang di tempuh mobil tersebut semakin jauh. Ini tentu memprihatinkan mengingat  tak ada satu katapun yang keluar dari bibir Clarisse maupun Nicholas. Sikap mereka seolah-olah menegaskan kalau mereka bukanlah saudara yang saling menyayangi.

Rintik-rintik hujan bahkan tak bisa mencairkan suasana. Hawa sejuk sekaligus dingin itu sama sekali tidak membantu mengurangi kadar kesunyian yang begitu pekat mengelilingi mereka.

Dan ketika jarak yang di tempuh mobil itu kian mendekati rumah sekaligus mansion mewah bergaya victoria di pusat Ibu Kota, London, Nicholas mengecilkan volume suara radio dan melirik Clarisse yang lebih tertarik mengamati pemandangan rumah-rumah dan jalanan yang tersaji melalui kaca jendela mobilnya. "Clare....." panggilnya datar.

Tak ada jawaban.

Nicholas mendesah pelan lalu mulai berpikir. Entah bagaimana caranya ia ingin berbicara dengan adiknya yang sudah pasti kesal dengan tindakannya beberapa saat lalu. "Clare...." panggilnya lagi. Kali ini lebih keras dan tegas.

Clarisse menoleh sekilas. Ada raut kecewa dan sedih yang terlukis di wajah cantiknya.

Menelan ludah, Nicholas pun bergumam kaku. "Maafkan aku..." ia melambatkan laju mobilnya ketika memasuki halaman luas mansion setelah para penjaga membuka gerbang tinggi yang membatasinya.

Clarisse tidak menjawab. Wanita itu lebih memilih membiarkan pernyataan maaf Nicholas berlalu begitu saja.

"Bukan maksudku ingin bertindak kasar pada Tristan. Aku hanya tak ingin kau di sakiti olehnya, Clare."

Clarisse memejamkan matanya lalu berbisik lirih. "Sudahlah. Aku tidak ingin membahas sesuatu yang mungkin membuat kita bertengkar lagi, Nick. Aku lelah. Sekuat apapun aku menjelaskan sesuatu tentang Tristan, kau tidak akan pernah memahaminya." desahnya letih. Ia hanya bisa berharap semoga waktu tak kan lama memisahkannya dengan laki-laki itu. Ia juga ingin Tristan kembali padanya dalam keadaan baik-baik saja.

Tak berapa lama kemudian mereka keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam mansion. Kedatangan mereka pun segera di sambut hangat oleh Eliza yang sudah menunggu sejak pagi di ruang tamu. Wanita paruh baya berusia awal lima puluhan itu terlihat cantik dan rapi dengan dress selutut berwarna putih. Sedangkan rambutnya di sanggul rapi di atas kepala.

"Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Eliza setelah memeluk sayang putrinya.

"I'm ok, Mom..." balas Clarisse sambil mengecup pipi Ibunya.

"Apa kalian berdua saja? di mana Robert?"

"Robert harus bekerja, Bu. Ada petinggi di kepolisian pusat yang memerlukan jasanya." sahut Nicholas.

Eliza tiba-tiba menatap Clarisse dengan pandangan cemas. "Sayang, sebaiknya kau pergilah ke kamarmu sekarang juga." bisiknya sambil melirik ke segala arah.

Melihat kecemasan Ibunya, Clarisse pun menaikkan alis. "Ada apa, bu?"

Eliza tampak ingin menjelaskan sesuatu sebelum suara ketukan sepatu terdengar dari arah tangga.

Tubuh Clarisse dan Nicholas serentak membeku ketika menangkap sosok Ayah mereka, Paul Peterson beranjak menuruni tangga dengan langkah mantap dan arogan. Laki-laki paruh baya itu tampak mengamati kedua anaknya dengan tajam. Tak ada binar senyum atau apapun di ekspresi wajahnya. Hanya ada percikan amarah yang perlahan merayap memenuhi mata birunya. Lalu setenang saat sedang mengikuti sidang atau rapat antar petinggi politik di house of commons, ia berkata tegas tapi terasa menusuk untuk Clarisse. "Sudah puaskah putriku bersenang-senang dengan anak mafia itu?"

The Target ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang