11

21.1K 1.3K 38
                                    

Arin berjalan bersisian dengan Vienetta memasuki Cafe. Beberapa staff mengangguk hormat mengenalinya sebagai ibu dari Valen.

"Selamat sore Bu Arin, seperti biasa?" tanya salah seorang staff menyapanya.

"Ah ya, di tempat biasa ya Win," sahut Arin tersenyum, lalu menarik lengan Vienetta untuk mengikuti Winda, staff Cafe yang mengantar mereka ke meja yang biasa ia pesan jika berkunjung ke Cafe.

Mereka naik menggunakan eskalator ke lantai 2 dan setelah menempati mejanya, Arin dan Vienetta mulai memesan minuman dan cemilan.

"Ehm, Win, Pak Valen nya ada?" tanya Arin sebelum waiter bernama Winda itu beranjak.

"Ada Bu Arin, beliau sedang di ruangannya," jawab Winda sopan.

"Oke. Kamu siapkan pesanan saya, saya mau menemui Pak Valen dulu," ujar Arin yang di angguki oleh Winda.

"Kita kan nggak bermaksud ketemu Valen?" tanya Vien mengerutkan keningnya.

"Kita bikin kejutan buat Valen," senyum Arin mengembang, menarik Vien agar mengikutinya.

"Cafe ini benar-benar maju pesat. Valen memang berbakat ya," ujar Vienetta kagum melihat keadaan dan situasi Cafe joinan anak-anak mereka.

"Sebenarnya aku dan Andi ingin memberi modal untuk Valen, agar ia bisa membuka cabang cafe ini di tempat lain, tapi Valen nya nolak. Katanya karena cafe ini joinan, mereka bertiga yang harus mengembangkan dari hasil dan laba cafe ini sendiri," kata Arin.

"Tidak terasa, mereka sudah besar-besar. Padahal rasanya baru kemarin mereka masih bermain bareng," Arin tersenyum mengangguk membenarkan Vien.

Mereka sudah berada di lantai tiga dan berjalan menuju ruang kerja Valen yang terletak di ujung dekat ruang meeting kecil.

Arin meraih gagang pintu dan membukanya ingin memberikan kejutan pada Valen dengan kedatangannya.

"Halo saya.....nggg....ASTAGA!!! VALEN?!! MARISCHA??! APA YANG KALIAN LAKUKAN??" pekik Arin membelalak, sementara Vienetta membekap mulutnya sendiri dengan mata melebar melihat Valen menindih Marischa dengan baju keduanya yang acak-acakan.

Valen dan Marischa serentak menoleh ke arah pintu dan terkejut melihat Bunda Arin dan Mom Vien di sana.

Buru-buru Valen membantu Marischa duduk dan berusaha menutupi gadis itu, sementara Marischa membenahi pakaiannya dengan wajah merah padam.

"Bun, ini...ini...," Valen tampak gugup dan dengan gemetar mengancingkan kemejanya yang terbuka.

"Apa-apaan ini Valen! Kalian kan belum menikah! Bunda tidak mau tau, kalian harus menikah segera!" seru Arin dengan nafas tersengal. Apa yang dilihatnya benar-benar membuatnya kaget.

"Apa? Menikah? Tap...tapi Bun..." Marischa mulai menangis.

"Tidak ada tapi! Kalian harus menikah! Segera!" Arin menatap keduanya tajam, sementara Vien menenangkannya dengan mengusap-usap punggungnya lembut.

"Bun, maaf, kami...kami..." Valen berusaha menjelaskan. Ia tidak tega melihat Marischa menangis. Ini kesalahannya. Kalau saja ia tidak terlalu emosi dan ingin menunjukkan status mereka pada Marischa, tentu ini tidak akan terjadi. Ia tidak dapat membayangkan betapa sedih dan marahnya Marischa sekarang terhadapnya.

"CUKUP! Bunda tidak mau mendengar pembelaan diri kalian. Sekarang benahi pakaian kalian, dan ikut Bunda!" perintah Arin marah. Ia benar-benar shock dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tidak pernah disangkanya jika Valen berani berbuat seperti itu.

==========L==========

Marischa tampak menunduk. Wajahnya disembunyikan di dada bidang Kenzo. Ia masih terisak. Dihadapannya kedua orang tuanya dan kedua orang tua Valen tampak menatapnya dan Valen seperti pesakitan.

LOVE YOU EVER AFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang