Frankenstein POV

1K 85 12
                                    

Saat pertamakali aku bertemu Zhielle, tidak ada hal yang menarik darinya, selain kenyataan bahwa saat dia berada disekitarku, aku merasa risih pada keberadaannya, sikapnya sama sekali berbeda dari Tuan ku, yang begitu tenang dan baik hati, aku bahkan tidak percaya bila Tuan ku memiliki seorang saudara dengan sikap yang nyaris menjengkelkan dan mengganggu.

Saat dimana dia menyatakan perasaannya padaku, adalah hal yang membuatku sepenuhnya terkejut, bagiku dia membenciku, dan aku merasa lega dengan hal tersebut, namun saat dimana ia mengungkapkan perasaannya, saat itu aku mulai merasa tidak tahu apapun lagi, tapi sejujurnya dia bukanlah seseorang yang benar-benar membuatku tertarik padanya.

Jika saat itu, aku menikah dengannya, mungkin benar bila semua  itu tidak lebih dari rasa tanggungjawab, bahwa aku harus menjaga adik dari Tuan yang sangat aku hormati, aku tahu Zhielle memahami hal itu dan berpikir bahwa aku merasa iba padanya, aku mungkin terlihat jahat sudah membohonginya, meyakinkan bahwa aku menerimanya adalah karena aku memiliki perasaan khusus untuknya, aku tidak pernah berpikir akan hidup dengan seseorang bersamaku sedetik pun, tidak pernah.

Hari dimana Zhielle kehilangan bayi itu membuatku terkejut, dia berubah menjadi dingin dan murung, beku seperti es, hal itu membuatku merasa sudah melakukan kesalahan padanya, karena aku tidak pernah berpikir bahwa ia akan begitu serius dan mempercayaiku, setelah itu aku berpikir untuk membuka sedikit diriku dan menjadi dekat padanya.

Bagiku, Zhielle adalah rekan yang baik, seseorang yang mengerti tentangku, aku tidak pernah memberinya porsi yang lebih dalam hidupku, selain bahwa ambisiku adalah menemukan Tuan ku kembali, beberapa masa telah berlalu aku memang sedikit lebih dekat padanya dan dia mulai makin sering merengek padaku, satu-satunya alasan mengapa aku menuruti kemauannya adalah agar ia berhenti mengganggu ku, tapi hal itu mulai menjadi sebuah kebiasaan tanpa kusadari.

Aku tidak bisa menggambarkan pasti mengenai perasaanku saat Zhielle menghilang, aku hanya terkejut, untuk beberapa lama aku hanya merasakan hal itu, sehari, dua, tiga hari berikutnya, perlahan ketakutan memasuki kepalaku, aku tidak pernah merasakan takut sebelumnya, ketakutan karena pertanyaan yang aku sendiri tidak bisa menemukan jawabannya, apa dia akan kembali, apa kami bisa bersama, apa yang terjadi padanya, apa dia hidup, mati, atau sedang terluka, apakah seseorang menyakitinya, dimana ia akan tidur, apa dia sudah makan, semua pertanyaan itu menjebakku dalam ketakutan, yang tidak bisa kuhadapi hingga tanpa aku sadari, air mataku menetes, aku menangis? Menangis, kenapa? Kenapa aku harus menangisi seseorang yang kuberikan porsi sangat kecil dalam pikiranku ataupun hidupku, aku tidak benar-benar memahami arti dirinya selain, bahwa kepergiannya membuatku merasa tidak bahagia, apakah itu berarti aku mencintainya? Aku belum menemukan jawaban itu, tapi yang jelas kupahami adalah, dia mengalahkanku tanpa menyerangku, jika aku bertarung dan terluka, setidaknya aku bisa mengobati luka yang akan menghilang itu, tapi dia menyerangku di tempat yang sangat dalam, tempat dimana aku bahkan tidak bisa menjangkaunya, katakan padaku, sejak kapan kau bisa menjangkau titik itu, bagaimana caramu bisa menemukan jalan yang aku bahkan tidak tahu jika bagian itu ada? Sejak kapan ruang yang begitu sempit yang sudah kuberikan padamu menjadi seluas itu? Katakan padaku.

Aku menemukannya, hari dimana aku bisa melihat ia kembali adalah saat dimana aku merasa bernafas dan melihat masadepan, tapi melihat keadaan dirinya yang terluka tanpa daya dihadapan ku, membuat seluruh tubuhku bergetar dan lemah, matanya yang sayu membuatku jatuh begitu saja, aku ingin kau hidup, entah dengan alasan apa aku mempertahankan mu, tapi aku ingin kau ada, anggaplah itu sebagai alasan yang cukup demi mempertahankan hargadiri ku.
Aku mencoba segala jalan untuk membuka matanya, aku tidak menemukan cara apapun, selain memberikannya darah, tapi aku tidak memiliki waktu banyak, maka aku putuskan memberikan darahku sendiri padanya, sama dengan saat aku memutuskan memberikan nuraniku untuknya.

Saat dimana ia membuka matanya, membuat kekhawatiranku menghialang, dia melihat luka ditanganku, dia meminta maaf dengan tulus, meski itu tak cukup untukku memberi maaf padanya, karena kebodohannya dia terluka, akan tetapi  ketidak berdayaannya, membuatku luluh, saat dimana ia merasa lemah dan membutuhkanku, aku merasa selalu memenangkan dirinya, dia mulai mengobrol hal tidak perlu lagi denganku, mengenai rambutnya, atau bahkan apa dia cantik atau tidak, aku bahkan tidak pernah memperhatikan hal itu, bagiku dia tetap sama, dan aku tidak mau mengubahnya, dia memiliki sisi murni yang kurindukan.

Aku pulang lebih awal hari ini, aku sedikit cemas padanya, saat aku melangkah ke laboratorium ku, aku melihatnya berdiri diambang pintu dengan selimut tebal yang membalut tubuhnya seperti kepompong besar, dia benar-benar membuatku geli, sekali lagi dia memprotes bahwa dirinya sangat berantakan, padahal menurutku tidak ada yang berubah darinya selain wajahnya sedikit pucat dan rambutnya yang pendek, sejujurnya, melihat rambutnya membuatku sedikit marah, dia sangat menyukai rambut panjangnya yang kecoklatan.
Dia mengabaikan ku begitu saja membuatku sedikit tidak terima, aku berpikir apakah selimut itu tidak begitu berat untuk seseorang yang barusan terluka, saat aku mengangkat tubuhnya, matanya yang besar berkedip-kedip heran, dia bertanya dengan naif apa aku sedang mengkhawatirkannya, aku suka setidaknya dia memiliki sifat agak bodoh dan lamban.

Saat aku mempersiapkan air mandi untuknya, dia bertanya menu apa yang paling cocok untuknya, aku belum pernah mendengar ada orang bertanya hal bodoh seperti dirinya, benar... Karena hanya dia yang akan melakukan hal itu. Saat aku memintanya membuka pakaian dan mandi begitu saja, ekspresi malu-malu dan wajah memerah sangat jelas di wajahnya, dia secara alami begitu canggung, membuat darahku berdesir, dia harusnya tahu, saat dimana ia begitu canggung adalah saat dimana dia membuatku sedikit tidak berdaya.

Dia lalu memanggilku mendekat padanya, entah apa maksudnya, tapi saat dia mulai memijat bahuku aku tahu, dia sedang berusaha keras mengurangi bebanku, dia begitu mengkhawatirkanku, kenapa kau selalu begitu tulus padaku? Aku merasa bersalah sekali lagi, aku memintanya berbalik untuk menggosok punggungnya, sejujurnya aku hanya ingin memandangi dia diam-diam.
Punggunya putih seperti susu, mengkilat diantara kabut air, dia mulai bicara lagi, meski sejujurnya yang kupandangi adalah punggungnya, dia tiba-tiba memelukku dan menangis, aku khawatir apakah karena terlalu serius menatap punggungnya, sampai aku membuatnya terluka... Tapi dia malah memprotes dirinya lagi, memohon agar selalu membawanya, bukankah sebaliknya, aku yang harus memohon begitu padanya.

Noblesse Fanfic Frankenstein Love Story 2 (Tamat) Lanjut Part 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang