Mom mengantarku ke bandara. Ia tampak lebih ceria dari saat aku memberitahunya tentang keputusanku untuk kuliah di luar kota dua bulan yang lalu. Awalnya ia tidak mengijinkanku pergi mengingat aku belum pernah tinggal jauh dari rumah seumur hidupku. Tapi apa boleh buat, aku tidak bisa selamanya tinggal di kota ini. Terlebih lagi, kampus baruku ini memiliki akreditasi yang lebih baik daripada kampus di sini.
Sikap Mom ini seharusnya membuatku lega-- seandainya aku tidak tahu alasan di balik penerimaannya. Well, dua minggu yang lalu Mom baru saja menemukan kontak teman lamanya dari sebuah situs jejaring sosial. Yang kutahu berikutnya, Mom menghabiskan berjam-jam waktunya untuk berbicara lewat telepon dengan temannya itu. Aku juga sempat mendengar bahwa Mom menceritakan tentang aku dan kuliahku. Entah apa saja yang mereka bicarakan berikutnya, tiba-tiba saja Mom memberitahuku bahwa aku diijinkan tinggal di rumah temannya jika aku sudah sampai di Los Angeles. Bahkan Mom bilang, temannya dengan sukarela mengijinkanku tinggal di sana selama masa kuliahku, tapi kutolak mentah-mentah. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Mom sepakat agar aku tinggal di rumah temannya untuk satu minggu saja atau sampai aku mendapat tempat tinggal sendiri.
Bibi Clara adalah teman Mom sejak belasan tahun yang lalu. Mom sering mengajakku berkunjung ke rumahnya ketika aku masih berusia tiga atau empat tahun-- atau begitulah cerita Mom. Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya.
Keputusan ini sedikit mengusikku. Aku tidak terbiasa dengan orang baru, tak peduli seberapa sering Mom menceritakan padaku tentang kebaikan-kebaikan Bibi Clara dan suaminya di masa lalu. Terlebih lagi, kudengar Bibi Clara mempunyai dua anak laki-laki. Mom bilang dulu aku sering bermain bersama mereka. Tapi bahkan nama mereka pun aku tidak ingat.
Aku menghela napas panjang dan mengalihkan pandanganku ke jendela. Pepohonan hijau melesat di sekelilingku dilatar belakangi langit biru cerah. Setiap beberapa menit sekali aku bisa melihat pesawat udara melintasi langit kota Seattle. Aku akan selalu merindukan tempat ini dan segala macam tingkah Mom dan Dad.
"Ingat Alice, jangan bertingkah macam-macam selama di sana," Mom memperingatkan saat aku hampir bergabung di antrean pemeriksaan tiket.
"Aku tahu, Mom." gumamku sambil memutar bola mata. Ini sudah kesekian kalinya Mom mengatakan hal itu.
"Telepon Mom begitu kau sampai, oke? Mom juga akan menelepon Bibi Clara untuk memberitahunya bahwa kau sudah naik pesawat, supaya dia bisa segera menjemputmu."
"Baiklah." Aku memeluk Mom dan mencium pipinya. "Aku akan sangat merindukanmu."
"Aku juga akan sangat merindukanmu, Sayang."
Kali ini aku memeluk Dad.
"Jaga dirimu baik-baik, Alice." ucap Dad, kemudian menyerahkan koperku.
Aku melambai kepada mereka sekali lagi setelah aku melewati pintu pemeriksaan, kemudian mereka pun pergi.
Penerbanganku tidak buruk. Aku mencoba memusatkan perhatian pada novel klasik yang kubawa, alih-alih memikirkan apa yang akan menantiku di Los Angeles. Mungkin tidak akan seperti ini rasanya jika aku tetap ngotot untuk tinggal di hotel sampai menemukan tempat tinggal terdekat dengan kampus. Tapi itu hanya akan membuat perdebatanku dengan Mom semakin tidak ada akhirnya. Ia berpikir bahwa membiarkanku tinggal sementara dengan Bibi Clara adalah cara terbaik untuk menjalin kembali persahabatan mereka. Lagipula ini salahku sendiri karena tidak mencari tempat tinggal sejak jauh-jauh hari sehingga semua asrama yang paling dekat dengan kampus sudah penuh.
Hanya untuk satu minggu...hanya untuk satu minggu...
Aku merapalnya berulang-ulang dalam kepalaku, berharap itu dapat meredakan kegelisahan yang kuciptakan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...