Chapter 9

1.2K 57 0
                                    

Note : chapter ini lumayan panjang, semoga tidak bosan

***

Marcel datang sekitar sepuluh menit kemudian. Ia turun dari mobilnya dan ekspresinya berubah bingung.

"Kenapa kau ada di luar?" tanyanya.

"Aku... well, aku mau mencari udara segar." dustaku.

"Oh, kalau begitu ayo masuk dulu. Aku mau bersiap-siap sebentar."

Aku mengikuti Marcel masuk ke dalam rumah, lalu aku memilih untuk duduk di ruang tamu berhubung aku mendengar suara televisi. Sudah pasti itu Eric, dan aku sedang tidak ingin berhadapan dengannya lagi.

"Aku tunggu di sini saja, Marcel." kataku.

Marcel kelihatan ingin protes, tapi kemudian ia mengangguk. "Baiklah. Kau bisa memanggil Eric kalau butuh apa-apa."

Tidak akan... Kataku dalam hati.

Marcel bergegas naik ke kamarnya. Aku menunggu dalam diam sambil berharap Eric tidak muncul. Tapi harapanku tidak terkabul karena dua puluh menit kemudian Eric memasuki ruang tamu dan duduk di depanku.

"Kau mau minum sesuatu?" tanyanya sopan.

"Tidak, terima kasih." jawabku tanpa memandangnya.

Eric tertawa pelan dan aku balas menatapnya tajam. Apa sih yang lucu? Bagaimana mungkin ia masih bisa tertawa setelah mencium pacar kakaknya. Dasar cowok sialan!

"Memangnya kau tidak bosan duduk di sini terus?" tanya Eric lagi.

"Tidak." balasku dingin. "Kenapa kau tidak bersiap-siap juga? Memangnya kau tidak mau datang ke pesta ibumu?"

"Aku akan bersiap-siap nanti. Tenang saja, aku pasti datang kok. Tidak usah cemas begitu." kata Eric santai.

Aku menatapnya tidak percaya. Memangnya siapa yang cemas? Lagipula aku tidak peduli dia mau datang atau tidak. Aku bertanya begitu hanya supaya dia cepat minggir.

Untunglah Marcel datang tepat waktu. Kami mendengarnya menuruni tangga, dan jantungku seperti melompat-lompat begitu melihatnya.

Marcel tampak sangat tampan dalam balutan tuxedo hitam dan dasi kupu-kupu yang terpasang rapi. Aroma parfumnya tercium begitu segar di hidungku. Ia juga mengenakan sepatu hitam mengkilap. Tampaknya ia sudah benar-benar siap datang ke pesta berkelas mana pun.

Lalu bagaimana denganku? Aku bahkan masih memakai jeans dan blus yang masih setengah basah. Apakah dia serius mau mengajakku ke pesta?

"Itu Armani?" tanya Eric.

Marcel mengangguk. "Tentu saja."

Satu lagi benda mahal. Seharusnya aku tidak terkejut.

"Kalau begitu cepatlah berangkat. Dia pasti butuh waktu lama untuk dipermak." ujar Eric sambil melirikku.

Aku balas menatap Marcel bingung, tapi Marcel tidak memberiku petunjuk apa-apa.

"Baiklah. Ayo, Alice, kita berangkat sekarang." ajak Marcel.

Aku mengikutinya sampai ke luar, barulah aku berani bertanya. "Apa maksudnya Eric tadi?"

"Jangan dipikirkan. Ayo cepat masuk."

Aku masuk ke mobilnya, masih dengan perasaan bingung, tapi aku yakin kalau aku bertanya lagi Marcel tetap tidak akan menjawabnya. Ternyata aku memang tidak perlu bertanya karena jawabannya kuperoleh sendiri lima belas menit kemudian. Marcel membawaku ke sebuah butik milik sebuah brand terkenal.

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang