Chapter 13

1.2K 58 9
                                    


Aku tidak bisa tidur malam itu. Berkali-kali aku mengubah posisiku senyaman mungkin, mendengarkan musik klasik, menghitung domba— tapi tetap saja aku masih gelisah.

Besok adalah hari yang sibuk dan tidak seharusnya aku kurang tidur. Aku tahu tanpa ini pun suasana hatiku pasti sudah buruk. Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang alam bawah sadarku inginkan. Kalau Julie memang jadian dengan Eric, lalu kenapa?

Esok harinya aku terbangun dengan mata pedih dan sekujur tubuh yang kaku. Aku tergoda untuk membolos, tapi ada presentasi yang harus kuhadapi, jadi terpaksa kuurungkan niatku.

Dengan langkah gontai, kupaksakan kakiku untuk menaiki satu demi satu anak tangga yang akan membawaku ke kelas. Aku pasti terlihat persis zombi sekarang. Begitu berbelok di koridor, mendadak aku tercekat dan langkahku seketika terhenti.

Eric sedang mengobrol dengan Julie di depan kelas kami. Adegan itu tampak manis, tapi membuatku cukup risih untuk terlalu lama memandangnya. Kenapa mereka harus bermesraan di sana? Kenapa tidak sekalian di tengah lapangan supaya semua orang bisa menonton?

Pikiran skeptisku mendadak terhenti saat tiba-tiba Eric melirik ke arahku. Hanya lirikan singkat, tapi cukup untuk membuatnya menyadari keberadaanku. Dan posisiku terdesak sekarang. Aku tidak ingin berjalan menuju ke kelas dan terpaksa harus menyapa mereka, tapi aku juga tidak bisa berbalik dan kabur ke lantai satu. Itu hanya akan membuatku terlihat mencurigakan.

Pikirkan sesuatu, Alice! Ayo, pikirkan jalan keluarnya— toilet. Ya, itu adalah pelarian terbaik. Aku hanya perlu berjalan lurus ke toilet di dekat tangga. Itu hal yang normal.

Aku mendesah lega begitu tiba di dalam. Pikiranku berantakan dan kusadari wajahku tampak pucat dan lelah. Kubasuh tanganku di bawah kran wastafel, kemudian kupercikkan sedikit air ke wajahku. Aku butuh berpikir jernih.

Aku tidak bisa terus menghindari Eric kan? Dia sudah jadian dengan Julie, otomatis aku harus menjaga kesabaranku untuk lebih sering melihatnya di sekitar Julie. Apa sih yang dia inginkan? Kalau niatnya hanya untuk membuatku kesal setengah mati, maka ia berhasil.

Aku sengaja berlama-lama di depan cermin, sekali lagi mencuci tanganku hanya karena aku tidak punya hal lain untuk dilakukan. Jari-jariku mengetuk wastafel dengan tidak sabar sambil berdebat dalam hati berapa lama aku akan bersembunyi di sini. Kuputuskan lima menit sudah lebih dari cukup, itu pun aku menyempatkan berhenti sebentar di lorong untuk meyakinkan diriku bahwa Eric sudah pergi.

Aku mendesah sekali lagi, kemudian kubuka pintu kamar mandi secelah. Mataku refleks menoleh ke arah kelas, dan aku bersyukur Eric sudah tidak ada di sana. Dengan lebih percaya diri, kulangkahkan kakiku keluar.

Begitu keluar dari kamar mandi, aku nyaris saja terkena serangan jantung, lagi. Eric bersandar di dinding tepat di sebelahku. Ekspresinya tampak puas sekali melihat kekagetan di wajahku.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyaku kaget sekaligus sebal.

"Kelihatannya bagaimana?" balasnya. "Aku menunggumu."

Sepertinya pendengaranku salah, atau mungkin ia yang salah bicara. Rasanya tidak mungkin ia menungguku.

"Kenapa?" tanyaku tanpa berani menatapnya. Pengecut.

"Ada apa dengan matamu?" Ia balik bertanya.

"Bukan apa-apa." jawabku malas. "Jadi, apa yang kau inginkan?"

"Apakah kau memang harus segalak ini jika sedang bicara denganku?" Eric menaikkan salah satu alisnya.

Aku tidak mengerti, kesinisanku seharusnya membuatnya mundur, tapi sepertinya ia malah semakin terhibur. Pasti ada yang tidak beres dengan pikirannya.

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang