Chapter 2 : Getaway Car

518 22 10
                                    

Stasiun demi stasiun terlewati. Kerumunan penumpang perlahan menipis, hingga akhirnya menyisakan bangku-bangku kosong yang membuatku bisa duduk lebih tenang tanpa terus-menerus dipandangi.

Si pemuda duduk di hadapanku, sama sekali tidak bersuara sejak kami memasuki kereta. Aku pun tak berminat memecah kebisuan, sehingga hanya tersisa deruman halus mesin kereta di latar belakang.

Waktu berlalu, rasanya seperti bertahun-tahun. Aku melirik si pemuda. Ia tampak sama bosannya denganku. Tanpa sengaja tatapan kami bertemu, dan aku memilih membuang muka.

Kudengar ia menghela napas, lalu duduk di sampingku, menyisakan jarak satu bangku. Terjadi jeda selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia berkata.

"Kita akan tiba di stasiun terakhir kurang dari sepuluh menit lagi. Selanjutnya kau akan ke mana?" Suara pemuda itu tenang dan dalam, jenis suara yang tak akan membuatmu bosan mendengarnya seharian.

Di luar keinginan, aku menoleh dan mendapati mata hijaunya sedang menatapku. Ekspresinya tampak hangat, bukannya iba. Dari jarak sedekat itu, barulah aku menyadari bahwa ia memiliki lesung pipi.

Tetap saja aku tak memiliki jawaban untuk pertanyaannya. Aku bahkan tak menemukan keinginan untuk sekedar bersuara. Maka aku tetap membisu sampai kami tiba di perhentian terakhir.

Kereta perlahan berhenti. Ia berdiri. Aku melakukan hal yang sama dan melangkah keluar dari kereta. Kurasakan nyeri mulai merambati kakiku yang terbalut heels setinggi delapan senti. Kuputuskan untuk duduk di bangku terdekat, kali ini mengabaikan tatapan-tatapan penasaran yang masih kurasakan di wajahku.

"Tunggu di sini." kata si pemuda.

Aku belum sempat mengatakan apa-apa, namun ia telah menghilang dari pandangan. Kurang dari lima menit kemudian ia kembali dan mengulurkan sekaleng minuman dingin kepadaku. Aku menerimanya dengan alis terangkat, bingung.

"Susu?" Aku bertanya.

Pemuda itu tersenyum simpul sambil membuka minumannya sendiri. Bir. Ia meminumnya seteguk.

"Satu dari sekian banyak pelajaran hidup yang kutahu adalah minuman keras tidak akan menyelesaikan masalah."

Begitu juga dengan susu. Pikirku, toh tetap meminumnya juga. Barulah aku menyadari bahwa aku kehausan.

Pemuda itu kembali tersenyum, memamerkan kedua lesung pipinya. Ia menyisir rambut ikalnya tanpa sadar, membuatnya lebih berantakan, lalu menyandarkan tubuhnya ke tiang. Tatapannya tertuju padaku, menilai.

"Apakah kau hanya terlihat seperti seorang pengantin yang melarikan diri dari pernikahanmu atau kau memang pengantin yang melarikan diri dari pernikahanmu?" Ia bertanya.

"Menurutmu bagaimana?" balasku enggan.

"Kau dijodohkan?" tebaknya.

Aku kembali diam.

"Baiklah, jika kau tidak mau cerita. Tapi kalau kau memang benar-benar kabur dari pernikahanmu, berada di tempat umum seperti ini akan membuatmu mudah sekali ditemukan. Dan sekedar informasi, kita sudah menjadi pusat perhatian sekarang."

Aku tertegun dengan caranya menyebutkan kata jamak itu. Secara tidak langsung ia telah melibatkan dirinya sendiri dalam kerumitan hidupku yang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Tapi secara konteks ia benar. Kami memang menjadi pusat perhatian.

Si pemuda melepas jasnya dan mengulurkannya padaku. "Pakailah. Paling tidak pria-pria mesum di sini akan berhenti memandangi punggungmu."

Aku memerah. Kuterima bantuan darinya sekali lagi tanpa mengatakan apa-apa berhubung otakku masih belum bisa memproses semua yang baru saja terjadi.

"Ngomong-ngomong, aku Oliver Sykes." Ia memperkenalkan diri.

"Alice Dyncer." Lawson, jika saja ia tidak berkhianat.

"Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain? Apartemenku hanya beberapa blok dari sini. Kau ikut?" tawarnya.

Keningku berkerut dalam dan tatapanku menghujam padanya.

Seolah mengerti, Oliver buru-buru melanjutkan. "Woah! Jangan salah paham dulu. Aku bukan orang jahat― well, meskipun semua orang jahat mengaku begitu― tapi, sumpah, aku hanya ingin membantu."

Aku membuang muka, lebih karena tidak tahu pilihan apa yang seharusnya kuambil. Sejauh ini, pemuda itu memang telah bersikap sopan, tapi siapa yang tahu seandainya ia adalah seorang psikopat atau maniak?

"Jujur saja, kalau sekarang aku meninggalkanmu di sini, orang-orang akan berpikir bahwa aku mencampakkanmu." Ia menambahkan, menanggapi keheninganku.

Meskipun tak lagi peduli dengan pendapat orang lain, sebagian kecil dari diriku menyadari bahwa yang ia katakan benar. Dan kenapa ia harus ikut menanggung akibat dari kesalahan yang bukan miliknya?

Aku mempertimbangkan pilihan itu, tanpa sadar menoleh ke arah pintu masuk. Mataku seketika melebar dan jantungku dicekam kepanikan saat mengenali kakakku di kejauhan. George tidak melihatku, tapi kalau aku tetap di sini, ia akan segera menyadarinya.

Dengan cepat aku bangkit berdiri. "Aku ikut." kataku pada Oliver dengan nada mendesak.

Oliver ikut memandang jauh ke belakangku, lalu menatapku penuh tanya.

"Kakakku." ujarku pendek, gagal menyembunyikan kepanikan dalam suaraku.

Pemahaman berkelebat di wajahnya. Ia menunduk, memandangi gaunku yang menyapu lantai. "Kau memakai hak tinggi?"

Aku mengangguk.

"Lepaskan."

"Apa?" tanyaku bingung.

"Lepaskan saja." ulangnya.

Aku menurut dan ia meraih sepasang sepatu itu dari tanganku.

"Sekarang angkat gaunmu." perintahnya lagi. "Kita akan lari."

Aku menatapnya tidak setuju, tapi sebelum aku sempat melontarkan keberatanku, perubahan ekspresi Oliver membuat kepanikanku meningkat dua kali lipat.

"Sial! Dia melihat kita." tukasnya. "Ayo!"

Oliver meraih tanganku, dan aku mengangkat gaunku tinggi-tinggi dengan satu tangan sebelum berlari bersamanya.

"Alice!"

Kudengar suara George memanggilku di kejauhan. Semua orang yang kami lewati serempak menoleh melihat drama kami. Tapi aku tidak ingin melihat ke belakang ataupun memperlambat lariku.

"Alice! Berhenti!" seru George yang semakin meningkatkan adrenalin dalam diriku untuk memacuku berlari lebih cepat.

Aku dan Oliver berhasil mencapai trotoar. Ia menghentikan taksi pertama yang lewat dan aku mengikutinya tanpa berpikir panjang. George keluar dari subway tepat ketika Oliver menutup pintu. Tatapan tajamnya jelas ditujukan pada kami berdua. Kemarahan membuatnya seolah bisa meledak kapan saja.

"Ayo, jalan!" seruku pada supir taksi.

Dengan anggukan kecil dari si supir, taksi itu pun melaju menembus padatnya Los Angeles di malam hari.

***

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang