Suasana bar itu tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang menyendiri di meja-meja yang tersebar di seluruh sudut ruangan, termasuk seorang pemuda yang duduk di depan meja bar, membelakangi penyanyi wanita yang sedang tampil.
Marcel Lawson menenggak habis anggurnya. Botol yang dipegangnya menunjukkan isinya yang tinggal setengah, tapi kesadaran Marcel masih cukup baik untuk bisa dikatakan mabuk. Ia mulai merasa butuh beberapa botol lagi untuk bisa membuatnya lupa sejenak dari segala kerumitan di dunianya.
Pintu bar mengayun terbuka dan seorang pemuda lain melangkah masuk. Matanya mengawasi sekeliling, kemudian setelah menemukan yang ia cari, ia pun mendekat. Ia menepuk bahu pemuda yang baginya tampak menyedihkan itu, membuat si pemuda seketika menoleh dan mengernyit.
"Apa yang kau lakukan di sini, Eric? Bukankah kau seharusnya berada di pesta lajangmu?" tuntut Marcel.
Adiknya tersenyum kecil. "Kau sendiri sedang apa di sini? Kenapa tidak datang ke pesta lajangku?"
"Nanti aku menyusul." ujar Marcel sekenanya.
Eric mengamati kakaknya, kemudian pemahaman berkelebat di wajahnya. "Bertengkar lagi dengan Maria?"
"Begitulah." jawabnya enggan. Marcel kembali terfokus setelah selama berjam-jam terakhir ia berusaha membuang jauh-jauh pikirannya dari gadis itu. Sejauh ini tampaknya gagal total.
Maria Johansson, teman semasa SMA-nya dulu, yang berhasil membuat pikirannya tetap sehat setelah ia berpisah dengan Alice, tapi malah membuatnya jatuh hati. Gadis periang ini seolah tahu bagaimana menghadapi Marcel karena memang sejak dulu tidak pernah ada rahasia di antara mereka. Tapi begitu gadis ini marah, bahkan seorang Marcel Lawson pun akan kehabisan ide untuk mengambil hatinya lagi.
"Kali ini apa penyebabnya?"
Marcel menenggak anggurnya lagi sebelum menjawab. "Aku membatalkan penerbanganku ke Roma karena rapat mendadak minggu lalu dan ia berhenti bicara padaku sejak saat itu."
Eric tertawa lepas. "Kau selalu begitu, Marcel. Sebenarnya kau pacaran dengan Maria atau kantormu?"
"Ini tanggung jawabku, Eric." Marcel membela diri.
"Kau terlalu gila kerja, Bro! Apa salahnya mengambil cuti sebentar? Apalagi kalian jarang bertemu."
"Yeah, aku masih tetap berharap hubungan jarak jauh ini akan berhasil." gumam Marcel lesu.
"Kalian sudah pacaran selama hampir dua tahun, tidakkah kau berniat untuk megikuti jejakku?" tanya Eric, tiba-tiba mengubah topik.
Marcel menatap adiknya yang kali ini tampak serius. "Kenapa kau begitu yakin untuk melamar Alice sekarang?"
"Memangnya ada yang salah dengan itu?" Eric balas bertanya.
"Tidak juga sih, tapi...ini keputusan yang serius, Eric."
"Aku tahu."
"Kau tidak bisa bermain-main dengan kehidupanmu lagi setelah menikah."
"Percayalah, itu juga aku sudah tahu." Eric tertawa.
"Dari mana semua ide ini berasal?" tanya Marcel lagi. "Apakah ide ini muncul begitu saja?"
"Memangnya kau pikir ke mana arah hubungan kami? Entah sekarang, beberapa bulan atau tahun lagi, aku juga akan tetap melamar Alice." balas Eric yakin, sesaat kemudian tatapannya berubah menilai. "Kau sepertinya tidak percaya padaku. Semua pertanyaanmu tadi sudah pernah ditanyakan Ayah, kau tahu."
Marcel tersenyum kecil. "Kau sangat mencintai Alice ya?"
"Kelihatannya bagaimana?" salah satu alis Eric terangkat.
Marcel mengamati adiknya sejenak. Ia belum pernah melihatnya begitu bahagia dan sungguh-sungguh sebelum ini. Baginya Eric bukanlah orang yang terlalu serius, terutama soal kisah cintanya. Terbukti dari daftar panjang mantan-mantannya yang kebanyakan tidak pernah bertahan lebih dari satu bulan.
Tapi ia dan Alice berhasil melalui tiga tahun mereka, meskipun harus melalui putus-nyambung, tapi tetap membuat Marcel terkesan. Ia percaya adiknya bisa membahagiakan Alice. Mungkin karena itulah ia akhirnya bisa menerima perpisahan mereka dengan lebih rela.
Eric sangat mencintai Alice, dan Marcel bisa melihat itu dari wajahnya.
Kali ini giliran Marcel yang menepuk bahu adiknya. "Aku ikut bahagia untuk kalian."
"Jangan cuma ikut bahagia. Aku mau kau ikut ke pesta lajangku sekarang. Ini perintah." kata Eric tegas.
Marcel tertawa. "Baiklah."
Kemudian ia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan bar sambil merangkul adiknya, meninggalkan masalahnya sendiri jauh di belakang...
-(Belum) Tamat-
Terima kasih buat para readers yang kuat membaca sampai akhir, terima kasih juga atas vote, komen, dan semua sarannya :* :*
See ya on my other stories, Bye ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...