Kegelapan ini terasa begitu nyata. Begitu pula perasaan sakit yang menyertainya. Entah kapan semua ini akan berakhir. Rasanya setiap hari aku hanya mengulang pola yang sama─ jatuh, mencoba bangkit, jatuh lagi... tapi tak pernah benar-benar sembuh. Mendekati pun tidak.
Jika selama ini aku bertahan pada harapan semu, kali ini harapan itu sirna sama sekali. Tak ada jalan kembali dan mungkin memang tidak bisa diperbaiki. Tapi itu bukan yang terburuk.
Wajah itu membayangiku ke mana pun aku melangkah, seolah ingin menjadi penambah duka atas ketidakhadirannya di sini. Terkadang aku berharap terbangun dengan amnesia, supaya hal-hal kecil ini bisa kulupakan. Tapi kenangan yang pernah kami lewati seperti tertanam dengan tinta permanen di mana-mana, mustahil bisa lari darinya─ kecuali aku benar-benar pergi, sejauh mungkin dari sini.
Dan itulah satu-satunya pilihan yang kupunya.
Saat mengemasi sebagian barangku pagi itu, tanpa sengaja mataku tertumbuk pada sebuah benda berkilau di sudut meja rias. Mengabaikan sejuta peringatan dalam kepalaku, kuraih cincin berlian itu. Saat ia memakaikannya di jariku malam itu, tak pernah terpikir olehku bahwa cincin ini akan terlepas dari sana. Tapi itulah yang dikehendaki takdir. Berusaha melawan ternyata membuatku harus kehilangan lebih banyak.
Tanpa berpikir panjang, kumasukkan cincin itu dalam sebuah kotak kado. Sempat terpikir olehku untuk menuliskan beberapa kata, tapi kuurungkan niat itu, toh ia tidak membutuhkannya. Setelah membungkusnya rapat-rapat, kuputuskan untuk mengirim kembali cincin itu kepada pemberinya.
***
"Aku benar-benar senang melihatmu di sini, Oliver." kataku jujur, sambil menyunggingkan sebuah senyum tulus kepada Oliver yang bersandar di sofa ruang tengahku siang itu.
"Sudah kubilang berkali-kali, ini bukan apa-apa. Aku pernah mengalami yang lebih parah." Oliver membalas sambil lalu, seolah perban di perutnya hanya menutupi luka lecet biasa.
Aku tertawa kecil menanggapi nadanya yang sok kuat. "Bagaimana kabar Mia dan orang tuamu?" tanyaku kemudian.
"Well, ngomong-ngomong soal itu, Dad berencana mengadakan makan malam untuk merayakan keluarnya aku dari rumah sakit. Sedikit berlebihan memang, Pak Tua itu, tapi aku tidak bisa memprotes." jelas Oliver. Saat melanjutkan, nadanya berubah canggung. "Dan dia ingin mengundang Marcel dan istrinya... untuk mengucapkan terima kasih."
Butuh beberapa detik bagiku untuk menyusun respons yang masuk akal, sebelum akhirnya aku berkata, "Itu ide bagus."
"Maukah kau menghubungi mereka? Aku... well, aku juga belum mengucapkan terima kasih."
"Tentu saja. Kalau tidak sibuk, aku yakin Marcel dan Maria akan dengan senang hati datang."
Oliver mendesah. "Dan kau juga harus datang."
"Memangnya aku bisa menolak?" Salah satu alisku terangkat. Bahkan dalam keadaan hancur lebur pun aku tak akan sampai hati merusak kebahagian Oliver dengan tidak datang ke acaranya.
"Kalau begitu sudah beres." Oliver terdengar lega.
Ia bangkit berdiri dan mengikutiku ke dapur. Atas permintaan─ atau paksaan darinya, akhirnya aku punya simpanan beberapa kaleng bir di kulkas yang tentunya hanya kusentuh saat ia ada di sini. Tanpa perlu mabuk pun akal sehatku sudah cukup mengkhawatirkan.
"Kita juga butuh perayaan, Alice." ujar Oliver sambil mengulurkan sekaleng bir dingin padaku. "Mari bersulang untuk apapun yang masih tersisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...