Chapter 6 : No Control

479 25 18
                                    

Sebuah paket berisi pakaian yang dijanjikan Mia datang keesokan harinya. Mia tak hanya memberiku pakaian kasual, melainkan juga beberapa lingerie dengan label berbahasa Perancis yang berpotongan sangat seksi. Bahkan wajahku memerah hanya dengan membayangkan akan memakainya di tempat ini. Tapi kuakui, Mia memiliki selera yang berkelas.

Yang membuatku terkejut, terdapat sebuah surat yang diselipkan di bawah tumpukan pakaian-pakaian itu. Jantungku sempat berdenyut nyeri karena pengalaman traumatis yang kualami dengan surat hari sebelumnya. Kuingatkan diriku sendiri bahwa surat tersebut dari Mia, kakak Oliver, bukannya dari orang asing yang berniat memporak-porandakan hidupku, lagi.

Aku membukanya dan menemukan tulisan tangan rapi di sana. Hanya tertera sebaris kalimat singkat.

Dear Alice, tolong temui aku di Tyles Cafe pukul 5 besok sore. Penting.

NB: Jangan beritahu Oliver.

Keningku berkerut. Kenapa Mia tiba-tiba ingin bertemu denganku?

Aku memutar ulang pertemuan kami kemarin, namun tak menemukan petunjuk sama sekali. Sudah cukup aneh bahwa ia memberiku pakaian-pakaiannya meskipun kami baru pertama kali bertemu. Sekarang ia ingin bertemu empat mata saja denganku. Jujur saja aku sedikit khawatir. Bagaimana kalau ia memintaku menjauhi Oliver?

"Alice!" Kudengar suara Oliver memanggil.

Aku buru-buru menyimpan surat itu dan keluar dari kamar. Oliver sedang menyibukkan diri di dapur.

"Ya?"

"Kau sudah selesai mandi?" Ia bertanya. "Bisa tolong bantu aku memasak?"

"Tentu." balasku. "Apa yang akan kita buat?"

Oliver kelihatan tidak yakin. "Hanya pasta. Apakah tidak apa-apa?"

Aku mengangkat bahu. "Boleh juga. Kau bisa masak?"

"Apakah menggoreng telur dan bacon masuk hitungan?"

"Hanya itu?"

Oliver memasang tampang 'apa boleh buat'. "Tapi jangan salah, aku cukup ahli dengan spatula."

Setelah mengatakannya, Oliver meraih spatula dan melemparnya ke atas. Benda itu berputar beberapa kali, lalu jatuh dengan bunyi nyaring di lantai dapur sebelum ia sempat menangkapnya.

Salah satu alisku terangkat.

"Well, ini tidak biasanya terjadi." Oliver beralasan.

Aku mencoba tidak tertawa. "Lalu apa yang biasanya kau makan?"

"Kebanyakan makanan instan." Oliver mengakui malu-malu.

"Wow! Kau bisa mati muda."

Oliver mendesah dramatis. "Baiklah, kita tidak akan membahas kematianku sekarang. Jadi, kau bisa masak?"

"Tentu saja. Bagaimana kalau kita memasak sesuatu yang lebih 'layak'? Mari lihat apa yang kau punya." Aku membuka lemari pendingin dan nyaris tak menemukan bahan makanan, kecuali beberapa butir telur, susu dalam karton, dan berkaleng-kaleng bir.

Oliver menutup pintu lemari pendingin dan menghalanginya dari pandanganku. "Jangan menatapku begitu. Setelah ini temani aku belanja, oke?"

Aku tersenyum geli, lalu mengangguk.

***

Berbelanja dengan Oliver bukanlah pengalaman yang mudah, tapi cukup menyenangkan. Ketidaktahuannya tentang bumbu-bumbu dapur membuatku terpaksa harus memberinya kuliah kilat selama kami berkeliling supermarket.

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang