Chapter 4

1.3K 50 0
                                    

Minggu siang itu Bibi Clara dan Paman Charles mengantarku pindah ke rumah baru. Marcel tidak bisa ikut karena harus mengerjakan laporannya yang sudah mencapai tenggat waktu. Tapi ia membantuku menaikkan koper ke bagasi dan berjanji untuk mampir ketika ada waktu. Sedangkan Eric-- tidak usah ditanya. Yang kutahu ia mengurung diri dikamarnya sepanjang hari setelah pulang pukul tiga pagi. Aku bisa mendengarnya membuka pintu kamar saat ia kembali karena aku terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi.

Bibi Clara dan Paman Charles mampir sejenak untuk melihat-lihat, kemudian segera pergi karena Paman Charles harus menghadiri konferensi. Tinggallah aku sendiri di rumah itu. Rasanya sungguh melegakan bisa berada di duniaku sendiri-- kecil, tidak sempurna, tapi begitu melindungi.

Sejenak aku hanya berdiam di sana, berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Tak berapa lama aku mendesah dan memaksa tubuhku bangkit. Masih ada waktu setengah hari untuk membersihkan rumah itu dari tumpukan debu. Pasti menyenangkan seandainya Marcel ada di sini. Aku yakin ia mampu mengubah kesuraman ini menjadi tempat yang nyaman, seperti yang selalu ia lakukan.

Aku mungkin akan merindukannya-- tidak, aku pasti merindukannya.

***

Suasana di kampus mulai membuatku jengah ketika hampir semua cewek di kelasku serempak menjadikan Eric perhatian utama. Ke mana pun aku melangkah, entah di kelas, di loker, atau di kafetaria, aku bisa mendengar bisik-bisik mereka tentang cowok dingin itu. Mulanya mereka hanya mengagumi dari jauh, tapi lama kelamaan kudengar mereka mulai mencari tahu segala hal tentangnya. Bahkan sampai ada yang nekat mengirim pesan ke Eric, entah dari mana ia berhasil mendapatkan nomor itu.

Julie tak kalah gilanya dengan cewek-cewek itu. Setiap beberapa menit dalam sehari, aku harus bersabar mendengarkan segala ocehannya tentang Eric. Aku berusaha menahan diri agar tidak menutup telinga dan membeberkan keburukan cowok itu di depannya. Lagipula, aku ragu Julie bakal percaya.

"Kemarin aku melihat Miranda Smith, tapi dia pergi bersama cowok lain. Mereka kelihatan sangat mesra, kau tahu. Tidakkah itu berarti sesuatu?" Julie berbisik.

Aku tetap fokus pada laporan kami. "Siapa Miranda Smith?"

Julie mendengus kesal. "Pacarnya Eric. Masa kau tidak tahu sih."

Jadi cewek yang bersama Eric waktu itu namanya Miranda. Beberapa hari yang lalu aku mendengar desas-desus tentangnya, tapi aku tak benar-benar menyimak. Urusan pelajaran saja selalu berhasil lolos dari otakku, apalagi hal-hal tidak penting seperti itu.

"Oh, aku tidak terlalu memperhatikan." ungkapku jujur. Aku buru-buru melanjutkan sebelum Julie semakin tersinggung. "Jadi bagaimana ceritanya?"

Seperti dugaanku, begitu dipancing sedikit Julie akan dengan senang hati bercerita. Awalnya aku benar-benar berkonsentrasi dengan apa yang ia katakan, namun lama-lama kusadari bahwa tatapanku mulai menerawang dan pikiranku sudah berada di tempat lain. Itu biasa terjadi ketika aku mulai bosan.

"Apakah menurutmu mereka putus?" tanya Julie kemudian, ekspresinya terlihat penuh harap.

"Eh, aku tidak tahu. Tapi kalau si Miranda ini memang selingkuh, kurasa lama-lama Eric juga akan tahu dan meninggalkannya." Itu hanya hipotesa ngawurku demi menyenangkan hati Julie. Faktanya, apapun yang terjadi pada Eric, aku sama sekali tak peduli.

"Kuharap begitu. Aku sempat mendengar dari cewek kelas sebelah kalau Eric dan Miranda sudah putus, tapi aku kurang yakin." gumam Julie, lebih pada dirinya sendiri.

Kubiarkan ia hanyut dalam lamunannya sementara aku kembali menulis. Entah kenapa pikiranku menjadi tidak sefokus tadi. Kurasa informasi baru dari Julie berhasil membangkitkan sisi diriku yang ingin tahu.

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang