Liburan berlalu tanpa terasa dan sekarang aku harus kembali menghadapi semester baruku di kampus. Aku datang cukup awal pagi itu dan melihat Julie sedang ngobrol dengan beberapa teman cewek kami. Ia memandangku sekilas, kemudian kembali fokus pada obrolan mereka.
Aku memilih duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dari Julie. Kulihat Julie dan teman-teman kami menoleh ke arahku. Aku memberi mereka senyum cerah.
"Bagaimana liburanmu, Julie?" tanyaku.
Julie bangkit berdiri dan menatapku dingin. "Jangan bicara padaku."
Aku tersentak dan bingung pada saat yang sama. Apa yang telah kulewatkan? Aku bergegas bangkit dan mengikuti Julie yang hendak keluar dari kelas.
"Hei, tunggu, ada masalah apa?" tanyaku pelan.
"Tanyakan pada dirimu sendiri!" tukas Julie kasar.
Oke, aku benar-benar bingung sekarang. "Julie, aku—"
"Kau tidak dengar ya? Berhentilah bicara padaku!" potongnya, sebelum melanjutkan langkahnya dengan marah.
Aku terpaku di tempat, tidak tahu apa yang telah kulakukan dan merasa sedikit tersinggung dengan sikap Julie yang di luar perkiraan. Aku tidak suka punya musuh, apalagi untuk alasan yang tidak kutahu. Dengan kekesalan yang memuncak, aku memberanikan diri bicara.
"Berhenti bersikap kekanakan dan katakan apa salahku, Julie!" seruku.
Julie berhenti melangkah. Ia berbalik dan menatapku galak. "Sudah kuduga kau akan pura-pura tidak tahu. Bersikap sok polos memang keahlianmu, Alice!"
Mataku menyipit. "Aku bukan peramal. Kau pikir aku bisa membaca pikiran?"
Beberapa orang yang lalu lalang di koridor mulai menyadari perdebatan kami. Mereka berhenti dan menoleh secara terang-terangan, tapi aku berusaha mengabaikannya. Julie yang memulai semua ini dan aku ingin segera mencari tahu penyebabnya.
Julie mendekatiku dan memberiku tatapan penuh kebencian. "Ini soal Eric."
"Apa yang terjadi?"
Julie mendelik. "Kau benar-benar tidak tahu? Kukira setelah meninggalkanku, ia akan langsung berlari kepadamu."
Keningku berkerut. "Aku tidak mengerti."
"Aku putus dengannya gara-gara kau!" bentaknya.
Mataku melebar. Mereka putus? "Apa? Lalu bagaimana aku bisa dibawa-bawa dalam masalah ini?"
"Tentu saja kau berhubungan dengan masalah ini! Berhentilah berpura-pura bego, Alice!"
"Apa yang telah kulakukan?" tanyaku frustasi.
Julie menggertakkan gigi. "Kupikir kau sahabatku, Alice. Kupikir selama ini kau memang membenci Eric. Tak kusangka itu hanya upayamu untuk sok jual mahal padanya."
"Kau ini ngomong apa sih? Jangan mengada-ngada!" sergahku terlalu keras. Aku berusaha menjaga volume suaraku supaya orang lain tidak perlu mendengar, meskipun sebenarnya aku ingin meneriakkan kata-kata itu.
"Apakah Marcel belum cukup untukmu?"
"Bisakah kau jelaskan padaku baik-baik? Aku benar-benar tidak mengerti satu pun yang kau katakan, Julie."
"Cukup!" potongnya. "Mulai sekarang jangan pernah bicara padaku lagi. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal."
Julie berbalik dan meninggalkanku begitu saja. Aku begitu shock hingga tidak mampu mengatakan apa-apa. Julie sudah membuat pernyataan finalnya, tapi aku tetap tidak tahu di mana letak kesalahanku. Aku bahkan tidak bertemu dengannya atau Eric selama seminggu terakhir, lalu bagaimana bisa aku menjadi penyebab putusnya mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...