Selama tiga hari berikutnya, Marcel dan Maria bergantian menungguiku di rumah sakit. Dari sikapnya, aku tahu Marcel masih marah padaku. Meski begitu, ia tidak lagi membentak-bentakku seperti sebelumnya, dan aku sangat bersyukur ia masih mau menemaniku di sana.
Karena keadaanku masih tidak memungkinkan untuk menemui Oliver, aku terpaksa menelepon Mia. Gadis itu panik, tentu saja- sehingga aku harus berbohong padanya juga. Aku lega Mia memilih mempercayai penjelasanku dan Marcel. Bagaimanapun, siapa saja akan dengan mudah percaya bahwa kau baru saja menjadi korban tindak kejahatan di Compton, salah satu kota dengan catatan kriminal tertinggi di California.
Hari itu aku sudah diizinkan pulang. Aku tidak bisa menyebut diriku telah sembuh dengan sempurna, terutama dengan denyutan di kepalaku yang tak kunjung menghilang dan memar-memar di rusukku yang masih meninggalkan warna ungu. Tetapi, terlepas dari semua itu, aku sudah bisa berdiri dan aku benci rumah sakit, jadi tidak ada gunanya memaksaku berlama-lama di sana apapun alasannya.
"Kau yakin akan ke sana sendiri? Aku bisa menemanimu-"
"Tidak apa-apa, Marcel. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Lagipula, bukankah kau ada rapat siang ini?"
"Aku bisa menundanya. Aku harus memastikan kau baik-baik saja sebelum keluar dari rumah sakit ini."
Aku tersenyum penuh terima kasih. "Aku baik-baik saja, Marcel. Terima kasih telah menemaniku selama beberapa hari ini, tapi kurasa sekarang saatnya aku membereskan masalah ini sendiri."
Marcel kelihatan hendak memprotes, namun sesaat kemudian ia mengangguk. "Baiklah. Jaga dirimu baik-baik. Kau bisa meneleponku atau Maria kalau membutuhkan sesuatu."
Kuharap aku tidak perlu melakukannya! Berapa banyak lagi hutang budi yang harus kutanggung?
"Tentu. Sekali lagi terima kasih." ujarku.
Setelah itu, aku dan Marcel berpisah di koridor. Ia akan langsung kembali ke Los Angeles, sedangkan aku memutuskan tinggal sejenak untuk menjenguk Oliver.
Aku berjalan di sepanjang lorong dengan perasaan gugup. Bagaimana jika keadaan Oliver lebih buruk dari yang semula kuduga? Bagaimana jika ia tidak mau menemuiku? Bagaimana jika ia membenciku karena gara-gara aku-lah ia terjebak di rumah sakit ini?
Pertanyaan itu sungguh tak ada habisnya meskipun jarakku dengan ruangan Oliver semakin dekat. Bahkan, dua kali aku berhenti di persimpangan dan harus meyakinkan diri sendiri untuk melangkah maju, bukannya melarikan diri.
Saat tinggal beberapa langkah dari kamar Oliver, aku melihat pintu itu terbuka dan Mia melangkah ke luar.
"Aku akan segera kembali. Telepon aku kalau kau butuh sesuatu- baterai ponselmu sudah ku-charge sampai penuh-"
"Demi Tuhan! Aku baik-baik saja, Mia. Pergilah." Kudengar Oliver berkata dengan nada setengah kesal.
"Aku akan kembali dalam beberapa menit, oke!" Mia bersikeras sebelum menutup pintu.
Gadis itu berpaling dan saat itulah ia melihatku. Tanpa basa-basi, Mia menghampiriku.
"Oh, Alice! Kau sudah boleh pulang? Maafkan aku karena tidak bisa sering-sering menjengukmu."
"Tidak apa-apa, Mia." balasku. "Bagaimana keadaannya?"
Mia tersenyum cerah. "Dia sudah lebih baik, tapi belum bisa banyak bergerak. Dokter bilang lukanya tidak terlalu dalam, tapi dia kehilangan cukup banyak darah. Sekarang tekanan darahnya masih rendah, mungkin dia membutuhkan satu atau dua kantong darah lagi."
"Kapan dia boleh pulang?"
"Kalau tanda-tanda vitalnya membaik, dia boleh pulang dalam beberapa hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...