Hari ini aku datang ke kampus cukup pagi. Mungkin karena aku terlalu bersemangat berhubung cuaca pagi itu sedang bagus sekali dan aku tidak punya tugas apa-apa untuk dikhawatirkan. Bagaimanapun situasi seperti ini sangat jarang terjadi.
Rupanya bukan hanya aku yang menganggap bahwa cuaca hari ini lumayan memperbaiki mood. Buktinya, saat aku berjalan melewati parkiran, kulihat bangku-bangku piknik yang tersusun rapi di taman sudah penuh. Wajah-wajah ceria terlihat di mana-mana dan suasana hatiku menjadi jauh lebih baik.
"Alice!" Kudengar seseorang memanggilku. Aku menoleh untuk mencari sumber suara dan Rachel tampak melambai kepadaku dari salah satu bangku piknik.
Aku tersenyum padanya dan berjalan mendekat. Di hadapan Rachel sudah ada laptop, komik, dan buah apel favoritnya.
"Pagi, Rachel!" sapaku sambil duduk di depannya. "Sedang mengerjakan apa?"
"Bukan apa-apa. Aku hanya sedang iseng membuat komik."
"Benarkah? Aku tak tahu kau bisa melakukannya. Kalau begitu izinkan aku membacanya kalau sudah selesai, oke?"
Rachel mengangguk semangat. Ia mengulurkan sekantong permen ke arahku dan aku mengambil satu.
"Tumben kau datang sepagi ini, Alice? Kelasmu dimulai lebih awal?" tanyanya.
"Tidak juga. Kebetulan aku bangun lebih awal, jadi sekalian saja ke kampus lebih pagi."
"Apalagi cuaca hari ini sedang bagus. Iya kan?"
"Memang," ujarku sependapat. "Hari yang bagus untuk berada di luar ruangan."
Tiba-tiba Julie datang dan langsung menggebrak meja piknik dengan penuh antusias. "Eric menghubungiku!"
Seketika aku tersedak permenku dan terbatuk hebat.
"Astaga, Alice, kau ini kenapa?" seru Julie panik. Ia menepuk-nepuk punggungku perlahan.
Rachel mengulurkan botol minumnya. "Ini, minumlah dulu."
Aku meminum seteguk dan bersyukur permen itu mau menyingkir dari tenggorokanku, meskipun rasanya masih perih dan mataku sampai berair.
"Kau bilang apa tadi?" tanyaku pada Julie saat batukku sudah mereda.
"Aku bilang, Eric menghubungiku." Wajah Julie tampak berbinar-binar saat mengatakannya.
"Benarkah?" tanya Rachel, terkesima.
"Kau tidak sedang bercanda kan?" tuntutku.
Julie tersenyum lebar. "Aku serius."
"Kau yakin itu Eric? Bukan orang yang mengaku-ngaku sebagai Eric?" tanyaku memastikan.
"Itu memang dia! Awalnya aku juga tidak percaya, tapi kemudian ia meneleponku dan ternyata benar, itu suaranya." Julie tampak seperti ingin berteriak saking gembiranya.
"Apa yang dia inginkan?"
"Dia bilang ingin mengenalku lebih dekat."
Keningku berkerut. Tidak adakah alasan yang lebih rasional dari itu?
"Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba menghubungimu?" Kali ini Rachel yang menyuarakan kebingunganku.
"Well, dia bilang dia tertarik padaku saat kami bertemu di ruang kesehatan tempo hari. Lalu dia menghabiskan beberapa hari terakhir untuk mencari nomorku dan akhirnya ia menghubungiku tadi malam." ujar Julie bangga.
"Tidakkah ini terlalu tiba-tiba?" ujarku tidak yakin.
Ekspresi Julie berubah jengkel. "Memang harusnya seperti apa?" tuntutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...