Chapter 24 : Retrouvailles

90 6 2
                                    

Sudah lima hari berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Oliver. Ia bilang ada beberapa urusan penting yang harus dikerjakannya, jadi aku tidak mau mengganggu. Lagipula, aku jadi punya banyak waktu untuk mengemasi sisa barang-barangku yang akan kubawa ke New York. Jangan kira Oliver telah menyerah─ ia selalu membujukku dengan segala cara untuk tetap tinggal setiap kali ada kesempatan. Meskipun begitu, kalau kau mengenalku cukup baik, kau akan tahu bahwa aku sangat keras kepala, jadi usahanya tidak terlalu membuahkan hasil.

Aku sedang menyibukkan diri dengan CV dan surat lamaran kerja saat ponselku bergetar di atas meja. Nama Oliver tertera di layar. Hanya butuh beberapa detik bagiku untuk membaca pesan singkat yang ia kirimkan.

Temui aku di air mancur Grand Park pukul 7 sore ini.

NB: dandan yang cantik

Keningku berkerut bingung, namun sudut bibirku terangkat tanpa sadar. Tanpa berpikir panjang, aku membalas pesannya.

Oke.

Sepanjang sisa hari itu, aku menghabiskan waktu untuk menata rumah, membaca buku, dan memasak menu-menu rumit supaya pikiran dan tubuhku tetap sibuk bekerja. Tanpa sadar, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan aku memutuskan untuk bersiap-siap. Tak seperti biasanya, kali ini aku memilih dress berwarna pink pucat dan kupadukan dengan slip on keds putih. Karena masih ada waktu, aku mengepang rambutku ke samping dan memakai sedikit make up. Aku tak tahu apa yang direncanakan Oliver, tapi tak ada salahnya berjaga-jaga kan?

Sebelum pukul tujuh, aku sudah berada di taksi yang akan membawaku ke Grand Park. Langit masih tampak cerah, meskipun semburat senja sudah menghiasi cakrawala. Angin meniupkan udara yang hangat dan akrab, sementara cahaya mentari sore menciptakan ilusi di kaca-kaca gedung bertingkat.

Sebentar saja, aku sudah tiba di taman kota yang terkenal dengan Dancing Fountain-nya. Aku segera menuju ke tempat yang diminta Oliver, di dekat air mancur yang disinari cahaya warna-warni. Beberapa orang berlalu-lalang, tertawa lepas atau mengobrol pelan, yang lain mengambil gambar di dekat air mancur dengan berbagai gaya ekspresif. Aku berkonsentrasi pada semua itu sembari menunggu.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, tapi Oliver belum muncul. Tidak ada pemberitahuan apa-apa di ponselku seperti yang selalu ia lakukan jika memang terpaksa harus datang terlambat. Aku menyimpulkan ia pasti sudah dekat dari sini.

Mataku mulai mencari-cari wajahnya di antara setiap orang yang lewat. Detik demi detik berlalu, namun pencarianku tidak membuahkan hasil. Akan tetapi, saat melihat seorang pemuda di kejauhan yang tengah berjalan ke arahku, pikiranku tentang Oliver seketika sirna sudah. Bisa dibilang, otakku berhenti bekerja saat itu juga.

Aku terpaku di tempatku berdiri─ bertanya-tanya apakah ini hanyalah mimpi. Namun, dalam angan terliar-ku pun ia tak pernah semenawan itu. Pendar cahaya dari lampu air mancur yang menyinari sebagian wajahnya, membuat ia berkali-kali lebih indah dari seluruh pemandangan senja.

Aku tidak yakin bisa mendeskripsikan dengan tepat apa yang kurasakan. Jantungku berdetak luar biasa kencang hingga rasanya nyaris menyakitkan, namun napasku melambat seakan pasokan udara di paru-paruku terhisap habis berkat kehadirannya. Melihatnya di sini, dalam jarak sedekat ini, membuat mataku memanas oleh perasaan duka cita yang saling bertentangan. Aku seperti terjatuh dari ketinggian. Tanpa pegangan, momen ini bisa saja menghancurkanku sampai tak tersisa.

Kukira aku telah mengakhirinya dengan benar. Lalu mengapa ia kembali lagi dan lagi? Apakah ia sebuta itu terhadap kekacauan yang terjadi di antara kami setiap kali ia pergi? Meskipun begitu, aku tak akan mengingkari secercah kelegaan yang hadir karena masih diberi kesempatan untuk melihat wajahnya.

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang