Aku memilih duduk di salah satu bangku piknik pagi itu. Cuaca sangat cerah, tapi cahaya matahari yang menerobos pepohonan tetap terlihat suram bagiku. Mungkin suasana hatiku saja yang sedang tidak baik.
Selama beberapa saat, aku hanya berdiam diri dan memandangi debu-debu yang bermain di bawah cahaya matahari. Wajahku terasa kaku, mengingat aku jarang bicara dengan siapapun belakangan. Aku berusaha mengingatkan diriku sendiri bahwa permusuhanku dengan Julie dan Eric tidak seharusnya mempengaruhi sedalam ini. Tapi fakta bahwa sekarang aku benar-benar sendirian selalu berhasil mengirimkan gelombang kesedihan ke sekujur tubuhku setiap kali aku mengingatnya.
Saat berpaling, aku melihat Eric sedang bersantai dengan teman-temannya di bangku piknik yang cukup jauh dariku. Kulihat mereka tertawa, tapi Eric hanya tersenyum kecil menanggapi entah apa yang sedang dibicarakan Leo. Mungkin itu hanya perasaanku saja, tapi sepertinya Eric tampak lebih pendiam akhir-akhir ini.
Tanpa sengaja Eric menoleh dan tatapan kami bertemu, sesaat kemudian ia membuang muka. Ekspresinya tidak tampak marah, kesal, atau benci seperti saat perdebatan terakhir kami, melainkan tetap datar seolah ia tidak menyadari keberadaanku sama sekali.
Aku mendesah panjang, berharap bisa mengurangi kepedihan yang tiba-tiba muncul. Kami sudah saling mendiamkan selama berhari-hari dan ini mulai terasa seperti sebuah perlombaan tentang siapa yang bisa bersikap paling acuh. Aku bertanya-tanya apakah hal ini menyiksanya juga seperti ini menyiksaku? Kehampaan ini membuatku seolah ingin berteriak sewaktu-waktu.
"Kau terlihat sama menyedihkannya dengan dia."
Seketika aku mendongak dan terkejut mendapati Julie yang baru saja berbicara. Ia dan Rachel menempatkan diri di bangku yang berhadapan denganku. Rachel memberiku senyum bersahabat, sementara senyum Julie lebih kaku— tidak terlalu ramah, tapi juga tidak sesinis biasanya.
"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
Julie tersenyum kecil. "Lihat saja, dia bersikap sama anehnya denganmu."
Aku berusaha mencerna kata-kata Julie, tapi sepertinya wajahku masih menampilkan ekspresi kebingungan, sehingga akhirnya Julie melanjutkan.
"Aku minta maaf padamu, Alice." ujarnya pelan. "Aku telah bersikap buruk padamu akhir-akhir ini. Aku terlalu marah dan kecewa karena Eric, dan tidak seharusnya aku melampiaskan kekesalanku padamu. Ini bukan salahmu."
Aku menatapnya, tercengang. Aku berusaha memikirkan alasan kenapa Julie tiba-tiba minta maaf padaku, tapi pikiranku hampa.
"Kurasa kau berhak marah padaku juga." Berhubung gara-gara aku, Eric mempermainkan perasaanmu. Tapi aku tak bisa mengatakannya. Aku tidak ingin memperkeruh suasana.
Julie menggeleng dan tersenyum kaku. "Tidak, Alice. Pascal telah memberitahuku semuanya. Kupikir aku mungkin bisa memaafkan Eric— dan sejujurnya aku agak bersimpati padanya."
Keningku berkerut, sekali lagi bingung dengan kata-katanya. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
Julie menatapku, sesaat ekspresinya tampak keras dan pahit, kemudian ia mendesah. "Well, sejak awal Eric mendekatiku karenamu. Ia tidak pernah benar-benar menyukaiku— dan hanya Pascal yang tahu. Eric tidak pernah mencari tahu apa-apa tentang aku. Ia meminta Pascal yang melakukannya. Saat aku menerima bunga di lokerku, itu juga bukan dari Eric, melainkan dari Pascal atas suruhan Eric karena ia tahu Marcel juga baru saja memberimu bunga."
"Apa?"
Julie tersenyum mendengar seruanku yang bernada shock, kemudian ia melanjutkan. "Setelah tahu kalau Eric meninggalkanku, Pascal marah padanya. Pascal mengancam akan menghajarnya kalau dia tidak mau minta maaf secara langsung padaku— dan kemarin malam Eric benar-benar melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romansa"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...