Tidurku tidak nyenyak. Setiap beberapa jam sekali aku selalu terbangun dengan perasaan tertekan menyadari aku tidak sedang di rumah. Keheningan dan kenyamanan tempat ini sama sekali tidak membantu. Alhasil kepalaku terasa pusing dan mataku terasa berat saat sarapan bersama keluarga Lawson.
"Jadi, Eric masih belum pulang?" tanyaku sembari membantu Bibi Clara membereskan meja makan. Paman Charles dan Marcel sudah meninggalkan dapur.
"Dia sudah pulang kok." jawab Bibi Clara, kemudian mendengus pasrah. "Pukul satu pagi-- tak heran sampai sekarang dia masih tidur."
Itu membuatku sedikit terkejut. Betapa berbedanya ia dengan Marcel meskipun aku tak tahu banyak tentangnya. Kekhawatiran perlahan kembali merayapiku. Jika Marcel bisa menerimaku dengan baik di sini, belum tentu adiknya akan melakukan hal yang sama.
"Aku tidak mengerti dengan anak itu. Dari dulu dia selalu begitu-- bertindak sesuai keinginannya sendiri." keluh Bibi Clara.
"Memangnya apa yang telah ia lakukan?" tanyaku, lebih ingin menjaga kesopanan daripada memenuhi rasa ingin tahuku.
Bibi Clara memutar bola mata. "Yah, kau tahulah bagaimana anak muda jaman sekarang-- pulang larut, kebut-kebutan, bahkan ia pernah terlibat perkelahian di bar."
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, namun aku yakin Bibi Clara tetap bisa membaca keterkejutan dalam ekspresiku.
"Kami sudah berusaha mengingatkannya, Alice. Tapi itu tidak berdampak banyak, jadi kami menyerah."
Keprihatinan dalam suara Bibi Clara terdengar begitu nyata, sehingga perasaan simpati itu mendadak merayapiku. Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua-- tapi menganggap diri telah gagal sebagai orang tua pasti bukan perasaan yang menyenangkan.
Perlahan pendengaranku menangkap alunan musik yang begitu familier. Alunan Canon in D milik Johann Pachelbel itu terdengar begitu indah dan menyentuh hati. Sejenak pikiranku seperti terbawa ke tempat lain, mengikuti setiap nada yang memenuhi udara.
"Well, kita sudah selesai di sini, Alice. Kau mungkin ingin melihat permainan piano Marcel." ujar Bibi Clara, membangunkanku dari lamunan singkat. Aku tersenyum berterima kasih kepadanya, kemudian menuju ruang tamu.
Marcel menoleh begitu aku datang. Ia menyunggingkan senyum ramah yang membuat degup jantungku mulai tidak beraturan lagi. Ia menghentikan permainan pianonya.
"Maaf...aku...tidak bermaksud mengganggumu..."
"Tidak, jangan khawatir." Marcel tertawa. "Kau sering sekali meminta maaf."
Aku meringis-- dalam hati mengutuk diriku sendiri karena selalu bersikap idiot di depan dewa yunani ini.
"Kemarilah!" ajak Marcel. "Apakah kau bisa bermain juga?"
Dia pasti sengaja mengejekku. Aku? Bermain piano? Yang benar saja!
"Sudah pasti tidak." gumamku malu. Aku memberanikan diri mendekat.
Ekspresi Marcel tidak berubah. Senyumnya seperti memberitahuku bahwa ia sudah bisa menduga hal itu.
"Canon sangat bagus, kenapa kau berhenti?" tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian.
"Kau ingin aku memainkannya lagi?" tanyanya.
"Jika kau tidak keberatan." kataku. Sejujurnya aku belum pernah melihat instrumental itu dimainkan secara langsung, dan aku benar-benar ingin melihatnya.
Marcel mengangkat bahu, kemudian memulai permainannya dari awal. Seketika nada-nada indah kembali memenuhi udara.
Hampir sepagian ini kuhabiskan bersama Marcel. Ia memainkan beberapa instrumental terkenal untukku. Favoritku sudah pasti Fur Elise. Barulah aku tahu kalau ternyata ia sangat terobsesi dengan Beethoven.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...