Aku bersandar di jok taksi, sambil memandang hampa ke luar jendela. Pikiranku tidak terkendali, tapi aku tidak bisa mundur sekarang mengingat aku sudah memikirkan rencana ini selama berhari-berhari. Tak ada gunanya terus menghindar. Lebih baik aku segera membereskan masalah ini supaya aku bisa tidur nyenyak.
Aku kembali memikirkan kata-kata yang akan kuucapkan padanya, berharap ini semua berjalan sesuai rencanaku. Tapi aku tidak terlalu berharap berhubung selama ini respons Eric selalu di luar perkiraanku, jadi aku yakin tidak akan terlalu terkejut kali ini.
Taksi berhenti di depan kediaman keluarga Lawson. Halamannya tampak sepi tanpa mobil-mobil mewah yang terparkir di luar. Bahkan penjaga rumah yang biasanya bertugas di dekat gerbang juga tidak terlihat.
Aku memberanikan diri melangkah memasuki gerbang. Suara kerikil yang terinjak kakiku membuat debaran jantungku lebih kencang lagi, seolah aku sedang berada di film horor dan akan segera menghadapi mimpi terburukku di dalam sana.
Jangan jadi pengecut! Aku mengingatkan diri sendiri.
Langkahku semakin dekat ke pintu utama, dan saat itulah aku mendengar dentingan suara piano membelah kesunyian di udara. Aku mengenali alunan The Meadow ini. Begitu indah, rumit, dan kaya.
Siapa yang memainkannya? Kukira Marcel belum pulang. Kalau memang dia ada di rumah, aku harus memikirkan cara lain supaya bisa bicara empat mata saja dengan Eric. Marcel tidak harus tahu tentang masalah ini dan aku ingin seterusnya tetap begitu.
Aku sudah mencapai pintu yang sedikit terbuka. Langkahku seketika terhenti saat menyadari siapa yang sedang memainkan musiknya. Itu bukan Marcel. Itu Eric.
Dia tampak berkonsentrasi penuh pada permainannya. Jari-jarinya menari lincah di atas tuts-tuts hitam putih itu. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena dia duduk setengah membelakangiku, tapi aku nyaris bisa membayangkan betapa menghayatinya dia sekarang. Setiap irama yang dia hasilkan seolah mengungkapkan isi hatinya. Aku tidak tahu apa yang ingin disampaikan Alexandre Desplat dalam lagu ini, tapi irama yang dimainkan Eric terdengar begitu dalam dan menyayat hati pada saat yang sama.
Selama beberapa saat aku hanya berdiri di depan pintu dan membiarkan nada-nada itu mempengaruhiku. Kesedihan dan keputusasaannya terdengar begitu nyata, sehingga entah bagaimana aku ikut merasakannya juga.
Apa yang sebenarnya Eric rasakan? Selama ini ia begitu arogan dan susah ditebak sehingga membuatku kebingungan. Terkadang ia membuatku kesal setengah mati, tapi di waktu yang lain ia datang untuk menyelamatkanku seolah ia peduli. Dia juga berkencan dengan sahabatku, kemudian tiba-tiba saja dia mengatakan kalau dia mencintaiku. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayainya?
Di luar semua itu, aku tidak bisa membebaskan diriku darinya. Aku sendiri yang telah memintanya menjauh, tapi sekarang aku berakhir di sini- berkubang dalam perasaan bersalahku dan berharap kami bisa berbaikan. Dia adalah satu-satunya kegilaan yang tak berhasil kuhadapi.
Irama musik memelan, berubah jadi lembut, dan kemudian berhenti. Tanpa sadar aku bertepuk tangan pelan. Seketika Eric berbalik. Untuk sesaat sepertinya ia sedikit terkejut melihatku di sini, tapi detik berikutnya ekspresinya berubah dingin.
"Sedang apa kau di sini? Kukira kau sudah tahu kalau Marcel belum pulang." tukasnya kasar.
Kalau aku tidak terbiasa dengan kesinisannya pasti aku akan lebih memilih pergi saat itu juga, tapi aku sudah kebal- paling tidak, hampir. Jadi aku tetap melangkah masuk.
"Aku ke sini untuk menemuimu." ujarku.
Eric terperangah, dan kali ini tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romansa"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...