Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui pintu balkon yang terbuka. Seseorang berdiri di sana, memunggungiku. Meskipun yang bisa kulihat hanyalah siluetnya, aku akan tetap mengenalinya. Karena ia-lah yang selalu kulihat, bahkan disaat aku memejamkan mata.
"Eric?" tanyaku tak percaya.
Ia berbalik dan tersenyum bak malaikat yang baru saja turun dari surga. Bahkan seandainya ia datang untuk mencabut nyawaku, aku akan dengan senang hati pergi bersamanya.
Eric mengulurkan tangan, menunggu dengan sabar sementara aku berperang dengan batinku sendiri. Tapi, seperti yang bisa kau tebak, aku memutuskan untuk kalah. Kuterima uluran tangan itu. Genggamannya hangat, nyaman, dan melindungi.
Ia membawaku mendekat. Matahari menyinari separuh sisi wajahnya dan aku hanya bisa terpana menatapnya, layaknya baru pertama kali melihat pelangi.
"Aku di sini." Ia berbisik lirih.
"Kau kembali?"
"Aku tak pernah pergi." sergahnya.
"Aku membutuhkanmu." Aku mengakui.
"Begitu pun diriku." tuturnya. "Maafkan aku, Alice. Kelemahanku telah membuatmu terluka."
"Berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkanku lagi." Aku memohon.
"Alice,"
"Ya?"
"Alice?" ulangnya lagi. "Kau sudah bangun?"
Bahuku berguncang perlahan dan semuanya berubah gelap. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak ada cahaya matahari, tidak ada Eric. Hanya ada kamarku yang masih temaram seperti yang biasanya kulihat setiap pagi.
"Yay! Kau sudah bangun!"
"Oliver?" tanyaku, bingung karena mendapati Oliver duduk di tempat tidurku dan tersenyum lebar."Aku sudah mengetuk berulang-ulang dan memanggil namamu, tapi tak ada jawaban. Kau membuatku khawatir. Karena pintumu tidak terkunci, aku langsung masuk saja." jelasnya. "Syukurlah kau hanya tidur."
Kepalaku masih berdenyut-denyut, sementara otakku berusaha mengingat-ingat gambaran surealis yang melibatkan Eric, namun gagal. Aku bahkan tak lagi bisa mengingat apa saja yang kami bicarakan di dalam mimpi tadi.
"Mimpi indah?" tanya Oliver. "Kulihat kau tersenyum dalam tidurmu."
"Hah...? Aku tidak ingat."
"Baiklah." Oliver mengangkat bahu, tidak ingin ambil pusing. "Apakah kau berniat bangun?"
Aku memejamkan mata dan memijat-mijat keningku. "Iya-iya. Sebentar lagi."
Oliver bangkit dan berjalan ke pintu. "Aku akan membuat sarapan."
"Maaf? Kau bilang apa?" ulangku, tak yakin pendengaranku benar.
Oliver memutar bola mata. "Kau sudah mengajariku caranya memasak. Sekarang sudah saatnya aku menunjukkan kemampuanku."
Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Kau yakin?"
"Apa kau sedang meremehkanku?" tuntutnya.
"Tidak juga. Aku hanya...terkejut."
"Baiklah. Katakan, apa yang ingin kau makan?"
Aku pura-pura berpikir. "Aku ingin steak."
"Tidak ada yang sarapan dengan steak, Alice."
"Bagaimana dengan lasagna?"
Oliver mengernyit. "Aku tidak bisa membuatnya."
"Lalu apa yang bisa kau masak?"
"Kau keberatan dengan omelet dan roti Perancis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...