Chapter 12

1.1K 41 21
                                    

Keesokan harinya kegelisahanku kemarin hampir lenyap tak bersisa. Tak bisa kusangkal kalau sebagian besar penyebabnya adalah Marcel. Entah bagaimana caranya, ia berhasil membalikkan suasana hatiku.

Aku belum selesai mengeringkan rambutku dengan handuk saat kudengar ketukan di pintu. Aku tidak punya gambaran siapa yang bertamu sepagi ini. Ini bahkan belum jam sepuluh. Kubuka pintu depan dan seorang kurir menyambutku.

"Benarkah ini kediaman Nona Alice Dyncer?" tanyanya.

"Iya, benar. Aku Alice Dyncer."

"Ini kiriman untuk Anda, silakan tanda tangan di sini." Ia mengulurkan sebuket besar bunga mawar merah.

Keningku berkerut. "Tunggu dulu. Apa kau yakin tidak salah alamat?"

"Anda Alice Dyncer kan?"

Aku mengangguk, masih bingung.

"Kalau begitu aku tidak salah alamat. Bisa tolong tanda tangan di sini, Nona?"

Aku terpaksa menandatanganinya.

"Terima kasih. Selamat pagi." ujarnya sebelum pergi.

Kuamati buket bunga itu baik-baik. Sangat cantik dan jelas mahal. Ini pertama kalinya aku menerima bunga dari seseorang seumur hidupku. Aku tidak pernah mengharapkannya karena aku memang merasa tidak seberharga itu untuk diberi bunga. Saat itulah aku menyadari ada kartu ucapan di bunga itu.

Happiness looks gorgeous on you.

-Marcel

Tanpa sadar aku tersenyum. Bagaimana bisa ia memanipulasi perasaanku, bahkan di saat ia tidak ada di sini?

Aku bergegas kembali ke kamar dan meraih ponselku. Kuputuskan untuk langsung menelepon Marcel dan ia mengangkatnya pada deringan ke tiga.

"Ya, Alice?"

"Terima kasih untuk bunganya." kataku tanpa basa-basi.

"Bunga apa?" balas Marcel dan aku tertawa. Haruskah ia pura-pura tidak tahu?

"Bunga yang baru saja kau kirimkan padaku, tentu saja."

"Oh, itu. Kau sudah menerimanya ya. Jadi bagaimana menurutmu?"

"Aku sangat menyukainya, tapi seharusnya kau tidak perlu repot-repot."

"Sama sekali tidak repot kok. Syukurlah kalau kau menyukainya." Marcel terdengar lega. "Jadi, aku tidak mau melihatmu murung lagi seperti kemarin, oke?"

Aku tersenyum. "Baiklah."

"Janji?"

Aku memutar bola mata. "Iya, Marcel."

Ia tertawa. "Bagus. Semoga harimu menyenangkan— dan aku tidak sabar untuk segera bertemu denganmu lagi."

Bagaimana ia bisa membuat kalimat sepele itu menjanjikan godaan begitu banyak? Ya, aku juga ingin segera bertemu dengannya. Sangat.

"Aku akan menunggumu." balasku sebelum menutup telepon.

***

Kampus tampak tidak seperti biasanya— atau itu hanya karena aku kurang memperhatikan. Pikiranku terus tertuju pada Marcel. Mata abu-abu dan senyum seksinya masih menghantuiku. Tidak ada cowok yang pernah mempengaruhiku seperti Marcel Lawson, dan aku sendiri tidak mengerti alasannya.

Ketika aku tiba di koridor menuju kelasku, barulah pikiranku kembali ke masa sekarang. Obrolan cewek-cewek di dekat loker tak sengaja tertangkap pendengaranku.

"Eric Lawson memberinya bunga? Kau serius?"

"Aku tidak tahu. Rasanya tidak masuk akal."

"Cewek itu pasti mengada-ngada. Yang benar saja! Dia bahkan tidak cantik."

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang