Setelah entah berapa lama kami berkendara, Oliver menepi di sebuah jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia mematikan mesin mobil dan menyandarkan kepalanya ke roda kemudi, tampak sangat lelah dan frustasi.
Menit demi menit berlalu. Aku menunggu dengan sabar, sementara ia masih enggan bersuara. Aku bisa mengerti pergolakan batinnya dan aku benci karena tidak tahu harus melakukan apa. Begitu banyak hal yang tidak kutahu, tetapi aku tahu persis bahwa Oliver tidak ingin membicarakan apapun yang baru saja terjadi.
"Oliver?" Aku mencoba memecah keheningan.
Oliver menghela napas, sebelum mengangkat wajah. "Ya?"
"Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat?"
"Ke mana?"
Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Ke mana pun kau mau. Di mana kau biasanya bersenang-senang?"
"Hotel?"
Plakk!
Aku memukul bahu Oliver dengan keras. Wajahku mendadak terasa panas.
Sebuah senyuman perlahan merayapi wajah Oliver.
Meskipun kesal, aku lega melihatnya tersenyum lagi. Sesaat, kubiarkan ia berpikir. Syukurlah kabut gelap yang sedari tadi melingkupi wajahnya kini telah mereda.
"Aku tahu tempat yang bagus." ujarnya kemudian.
"Di mana?"
Ia menyeringai. "Kau akan lihat nanti." Kemudian ia menyalakan mesin mobil dan membawa kami melaju di sepanjang jalan raya.
Kami tiba di tempat yang dimaksud Oliver sekitar lima belas menit kemudian. Dari sekian banyak tempat, sama sekali tak terpikir olehku bahwa ia akan membawaku kemari. Sebuah arena skating!
Tempat itu berbentuk lingkaran sempurna, di kelilingi pagar pembatas transparan dan lampu-lampu besar maupun lampu gantung. Arenanya tidak benar-benar terbuat dari es sungguhan, melainkan dari lilin.
"Wow!"
"Kau bisa main skating?" Ia bertanya.
"Tidak begitu mahir. Sudah lama sekali aku tidak bermain." Aku mengakui.
"Kalau begitu hibur aku." ajaknya semangat.
Ia sudah berjalan mendahuluiku menuju tempat penyewaan sepatu. Aku menyusulnya dengan perasaan gelisah.
"Oliver, aku benar-benar sudah lupa caranya."
"Ayolah, Alice. Kau tidak perlu tegang begitu. Ini bukan permainan hidup dan mati."
Memang, tapi permainan ini cukup mempertaruhkan harga diri. Apalagi para pengunjung yang tengah bermain tampak benar-benar tahu apa yang mereka lakukan. Akan terlihat seperti apa aku di tengah-tengah mereka?
"Kau saja yang main. Aku akan menunggu di sini." usulku.
Kening Oliver berkerut dan ia menatapku tidak setuju. "Jangan mengada-ada."
"Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri." desakku lagi.
"Kalau begitu, aku juga akan mempermalukan diriku sendiri bersamamu."
"Tapi―"
"Tidak ada tapi." balasnya dengan nada final.
Oliver beralih pada petugas penyewaan sepatu dan pria itu mengulurkan sepatu sesuai dengan ukuran kami. Dengan cepat, Oliver memakai sepatunya sendiri. Aku hanya memandangnya dengan pikiran kosong.
Begitu melihat aku masih melamun dengan sepasang sepatu di tanganku, Oliver memutar bola mata. "Berikan padaku." Ia merebut sepatu itu dariku dan berlutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...