Bahkan setelah kami melaju bermil-mil jauhnya dari kakakku, jantungku masih berdebar luar biasa kencang. Apa yang akan dilakukan George setelah ini? Apakah George sudah memberitahunya? Apakah dia bahkan sudah menyadari kenapa aku kabur?
Ingatanku melayang pada foto-foto yang kutinggalkan di ruang rias. Seseorang pasti akan menemukannya dan kuharap itu cukup menjelaskan alasan di balik pelarianku ini. Bagaimanapun, ini salahnya. Dia-lah yang meracuni sumur harapan kami dan membuat hubungan ini menjadi tragedi. Seandainya saja aku tahu lebih awal, mungkin tak akan sesakit ini.
"Kita sudah sampai."
Oliver mengembalikan kesadaranku dan membukakan pintu. Ia membayar taksinya dan menungguku keluar dengan sabar.
"Mau memakai sepatumu?" tawarnya saat kami tiba di lobi.
Aku mengangguk dan ia mengembalikan sepatuku. Aku kembali memakainya dan perasaan nyeri itu merayapiku lagi. Rupanya bagian tumit sepatu itu telah membuat kakiku lecet saat aku berlari menuruni subway tadi.
Aku mendengus, lalu melepasnya. Toh tidak akan ada yang memperhatikan kalau aku bertelanjang kaki.
"Kau masih kuat jalan atau perlu kugendong?" tanya Oliver, menaikkan salah satu alisnya.
Aku menatapnya galak.
Ia nyengir. "Cuma bercanda. Lewat sini."
Aku mengikutinya, diam-diam mulai merasa cemas. Pintu lift bergeser terbuka dan kami pun melangkah masuk. Ruangan klaustrofobik itu membuat perasaanku semakin campur aduk.
Aku melirik Oliver dari sudut mataku dan langsung tertangkap basah. Ia tersenyum mengejek, sambil menyandarkan tubuhnya dengan santai ke dinding lift.
"Apa yang kau pikirkan?" Ia bertanya. "Sedang mengira-ngira bagaimana caranya untuk lari?"
"Apa kau sedang menakut-nakutiku?" tantangku.
Oliver terkekeh. "Aku tak perlu melakukannya. Kau sudah takut padaku."
Aku menghindari tatapannya dan memilih memandang ekor gaun mahalku yang kini bernoda tanah di ujung-ujungnya.
"Kalau kau tidak percaya padaku, kau boleh mundur kapan saja. Tapi kalau menurutmu aku bukan orang jahat, kau boleh tinggal dan aku berjanji tak akan menyentuhmu." Oliver melanjutkan.
Tantangan tersirat dalam suaranya berhasil membangkitkan sisi nekat dalam diriku. Kalau ia macam-macam, aku tinggal lari atau berteriak atau memukulnya. Tidak ada Eric yang akan datang sebagai penyelamat kali ini. Tapi siapa juga yang membutuhkannya?
Lift berhenti di lantai tujuh dan pintunya menggeser terbuka. Oliver menatapku dengan alis terangkat.
"Jadi?"
Aku menelan kemarahanku sendiri karena berani memikirkan nama itu lagi, kemudian mengambil langkah keluar dari lift.
Kudengar Oliver terkekeh pelan. Ia membimbingku menuju kamarnya di ujung lorong, kemudian mengeluarkan kunci dari saku. Aku mendapat kesan ia sengaja berlama-lama saat membukanya. Mungkin ia sedang mencoba menakut-nakutiku dan mengetes apakah aku akan berubah pikiran, tapi aku sudah terlanjur menceburkan diri sejauh ini― dan aku tak bisa memikirkan tempat lain untuk bersembunyi.
Pintu terbuka dengan suara klik pelan.
"Silakan masuk."
Oliver membiarkanku mendahuluinya. Lorong masuknya tampak polos. Tak ada satu pun foto atau gambar tergantung di dindingnya yang berwarna abu-abu terang. Perabot yang mendominasi ruang tamu adalah dua buah sofa berlengan, sebuah meja kayu persegi, dan sebuah televisi layar datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...