Chapter 15 : Home

297 21 2
                                    

Aku bergelung rapat di bawah selimut― masih mengenakan dress dan riasan wajah yang sepertinya sudah hancur berantakan akibat air mata. Tangisanku sudah berhenti, tetapi bisa dipastikan ia akan tetap meninggalkan bekas yang jelas esok hari.

Oliver membuka pintu kamar dengan perlahan. Aroma teh camomile menyergap penciumanku bersamaan dengan kehadirannya.

"Minumlah dulu." ujar Oliver, duduk di tepi tempat tidur. Ia sudah melepas jas dan melipat kemeja putihnya hingga ke siku. Kini ia mengulurkan secangkir teh buatannya.

"Aku tidak haus." tolakku, meskipun bertentangan dengan yang sebenarnya kurasakan.

Salah satu alis Oliver terangkat. Ia menatapku selama beberapa detik, membiarkan tuduhan nonverbalnya menggoyahkan sisi keras kepalaku. Dari senyuman samar yang terlukis di wajahnya, ia sepertinya sangat yakin bahwa pada akhirnya aku akan menyerah.

Aku menghela napas dan mencoba duduk. "Baiklah." gumamku, kalah.

Aku menerima cangkir itu dan menyesapnya sedikit. Teh buatan Oliver rasanya boleh juga. Ataukah itu hanya karena aku sangat kehausan?

"Kau mau makan sesuatu?" tawarnya.

"Tidak." jawabku otomatis.

"Baiklah. Kalau begitu, sebaiknya aku membiarkanmu berisitirahat. Aku ada di ruang tamu kalau kau membutuhkan sesuatu." tutur Oliver, layaknya aku sedang sakit.

Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Saat itulah pemikiran spontan itu melintas di benakku.

"Oliver?"

Ia berhenti. "Ya?"

"Jangan pergi."

"Apa?"

Kekagetan dalam suaranya membuat wajahku memerah. Syukurlah saat itu lumayan gelap. "Tetaplah di sini. Kalau kau pergi, aku mungkin akan bermimpi buruk."

Dengan atau tanpa dirinya, aku yakin mimpi buruk itu akan tetap menyerangku. Meskipun begitu, kali ini aku tidak ingin sendirian jika hal itu benar-benar terjadi.

Oliver tampak menimbang-nimbang sejenak, sebelum kembali menghampiri tempat tidur. Aku bergeser sedikit untuk memberinya ruang.

Oliver bersandar di punggung tempat tidur. Ekspresinya sulit diartikan.

"Selamat malam." ujarku kemudian, menarik selimut lebih rapat dan membelakanginya.

Selama beberapa menit, tidak terdengar apa-apa, namun aku tahu Oliver masih terjaga. Terlepas dari apapun yang pernah kudengar tentang dirinya, aku terkejut mendapati diriku mempercayainya. Jika tidak, mana mungkin aku akan membiarkannya berada sedekat ini, di dalam ruang pribadiku? Apakah hal ini murni karena kepercayaanku padanya, ataukah hanya karena rasa putus asaku karena tak memiliki seseorang sebagai pegangan?

Otakku berusaha keras mencari-cari jawabannya, hingga kesadaranku perlahan menurun dan aku jatuh terlelap.

Di dalam mimpi, aku melihat gazebo berhiaskan rangkaian bunga dan ratusan lampu. Di tengah-tengahnya, dua orang berpakaian layaknya sepasang pengantin sedang berdansa, diiringi melodi yang kukenali sebagai The Meadow milik Alexandre Desplat. Dugaanku, itu adalah Marcel dan Maria. Gambaran itu tidak berarti apa-apa, namun lambat laun aku menyadari bahwa aku melihat dari sudut pandang gadis itu. Dan pemuda yang sedang berdansa denganku bukannya Marcel, melainkan adiknya.

Eric menunduk dan tersenyum padaku. Perlahan, senyuman itu digantikan oleh ekspresi penuh kengerian. Saat itu juga aku melihat percikan api di sekeliling kami, yang perlahan membesar menjadi lidah api. Api itu menjalar melingkar ke seluruh tepi gazebo, memerangkap kami. Di cekam kepanikan, aku mencoba mencari jalan keluar. Akan tetapi, barulah aku menyadari bahwa Eric sudah menghilang. Hanya diriku yang tertinggal di sana, sendirian, bersiap untuk terbakar.

Sweeter than FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang