"Apa kau menikmati hari ini?" Oliver bertanya ketika mobilnya berhenti di depan apartemenku.
"Sangat." jawabku. "Terima kasih."
"Kalau begitu, boleh aku dapat satu ciuman sebagai imbalannya?"
Aku menatapnya skeptis. "Oliver!"
Ia tertawa, seketika mengembalikan atmosfer ringan yang selalu menyelubungi setiap kali aku sedang bersamanya.
"Baiklah. Itu artinya 'tidak'." Ia mengangkat bahu, pura-pura tersinggung dengan penolakanku. "Aku akan mencium mobil ini saja."
"Nah, begitu lebih baik."
Kudengar Oliver menggerutu.
Aku melepaskan sabuk pengaman. "Sampai bertemu lagi."
Oliver tersenyum. "Jadi, kau belum muak padaku?"
"Tentu saja belum."
"Aku masih boleh datang lagi besok?"
"Jelas boleh."
"Kalau besoknya lagi?"
"Boleh." ujarku, mengalah.
"Besoknya lagi?"
Aku mendesah. "Oliver!"
Ia tertawa. "Sampai ketemu besok, Alice."
Aku keluar dari mobilnya, lalu memberinya lambaian kecil sebelum ia menyalakan mesin dan melaju meninggalkanku.
Dibanding saat bangun tadi, suasana hatiku sudah jauh lebih baik. Aku terkejut mendapati diriku tersenyum dan menyapa semua orang yang kutemui di lobi. Bahkan waktu menunggu di depan lift pun tak semembosankan biasanya.
Pintu lift menggeser terbuka dan aku menekan tombol nomor tiga, tempat di mana kamarku berada. Namun, serasa ada serpihan es yang menuruni perutku begitu aku melangkah keluar dari lift beberapa detik berikutnya. Aku jelas-jelas tidak siap dengan apa yang sedang menungguku di sana.
Marcel sedang bersandar pada dinding, tepat di samping pintu kamarku.
Langkahku otomatis terhenti. Pikiranku spontan memutar ulang pertemuan terakhir kami― yang bisa dikatakan tidak berjalan lancar. Aku bisa saja berbalik dan berpura-pura tidak melihatnya, tapi itu adalah tindakan bodoh sekaligus pengecut. Maka kuberanikan diri berjalan ke arahnya.
Marcel mendongak begitu aku mendekat. Ekspresinya tampak lega, meskipun aku bisa melihat sisa-sisa kejengahan di wajahnya. Berapa lama ia telah menungguku di sana?
"Alice, akhirnya kau kembali." desahnya. "Dari mana saja?"
"Umm, aku pergi untuk minum kopi." jawabku, sengaja tidak menyebutkan dengan siapa aku baru saja pergi berhubung aku masih ingat dengan jelas ketidaksukaan Marcel terhadap Oliver.
Marcel tidak mengatakan apa-apa sementara aku berkutat dengan kunci, tanpa berani menatapnya. Aku tidak tahu kenapa aku bersikap seperti itu. Aku sama sekali tidak melakukan sesuatu yang salah, tapi tetap saja tatapan dinginnya membuatku merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah.
Pintu terbuka, dan aku mempersilakan Marcel mendahuluiku. Aku mengawasi sementara pandangan Marcel menjelajahi seisi ruangan, seperti mencari-cari sesuatu. Ketika ia kembali berpaling kepadaku, kusimpulkan ia telah menyerah dan tidak menemukan entah apapun itu.
"Kau ingin minum sesuatu?" tanyaku, berharap bisa mengambil sedikit waktu untuk menenangkan diri.
"Tidak, terima kasih." tolak Marcel, menggagalkan niat awalku.
Merasa tak memiliki pilihan lain, akhirnya aku duduk di hadapan Marcel. Terjadi keheningan sesaat. Ia tampak menimbang-nimbang sesuatu, dan aku menunggu dengan gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter than Fiction
Romance"Kau mungkin menyayangi mereka berdua, tapi kau hanya mencintai salah satu. Dan siapa pun dia, hanya hatimu yang tahu." Dongeng tak selamanya indah. Begitu juga hidup. Seperti roller coaster, naik, turun, penuh kejutan. Tak perlu risau, karena saa...